Monday 29 June 2015

Membelah Bukit Barisan

Selamat bulan puasa semuanya, selamat menunaikan ibadah puasa semuanya. Lama ngga nulis kayaknya bakalan membuat cerita ini sedikit kaku, udah masuk bulan ketiga ngga posting satupun tulisan. Semua yang pengen ditulis berakhir di-folder “documents” dengan judul yang ngga jelas dan isinya hanya beberapa paragraf saja. Menyebalkan!

Cerita ini berawal diawal-awal puasa kemaren, si Opi adik sepupu ayah saya yang seumuran dengan saya. Dia minta tolong diantar kedaerah Surian, perbatasan antara Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan, sekitar 2 jam dari kota Padang. Dia kesana dalam rangka mengunjungi salah satu rumah pasiennya dirumah sakit jiwa, saya tekankan sekali lagi. Rumah Sakit Jiwa!.

Setahun terakhir memang inilah kegiatan Opi, meski dia sudah wisuda dan mendapat gelar Sarjana Keperawatan, saya juga ngga ngerti mekanismenya seperti apa, yang jelas harus magang atau apalah namanya dirumah sakit dulu selama satu tahun. Termasuk merawat pasien jiwa dirumah sakit jiwa.

Awalnya sama sekali saya ngga mau pergi nganter dia kesana, diawal saya pikir dia kesana mengunjungi pasien sakit jiwa yang tengah dia tangani, karena saya sedang lumayan stress dengan tumpukan pekerjaan dan berhubung hari sabtu serta ada alasan untuk cabut dari proyek, lumayan refreshing melihat pemandangan indah Alahan Panjang. Saya pun mengiyakan permintaannya.

Selesai sahur dengan rekan-rekan kerja yang lain, saya kembali masuk kekamar. Mencoba tidur lagi beberapa menit, samar adzan subuh dikumandangkan, saya ketiduran sampai jam 6 pagi, saya melangkah kekamar mandi, setelahnya saya shalat subuh dan bersiap, sedari tadi Opi sudah ribuan kali menelpon, namun handphone saya silent kan, sehingga tak satupun yang sempat saya angkat.

Saya kenakan jaket seadanya, tepat jam setengah tujuh saya meluncur kekosan Opi yang lumayan jauh dari tempat saya tinggal, suhu kota padang sepagi ini tidak begitu dingin, sehingga jaket saya yang seadanya dapat meminimalisir rasa dingin cuaca pagi. Padang memang terkenal dengan suhunya yang panas, terlebih siang hari.

Tak lama saya sampai, Opi pun sebenarnya sudah siap dari subuh. Jadi saya ngga terlalu lama menunggu, kami langsung meluncur dengan motor kesayangan yang pajaknya sudah mati 1 bulan. STNK saya tinggal dirumah, karena kemarin sewaktu pulang hari pertama puasa ayah suruh Stnk nya ditinggal dan biar Ayah yang ngurusin bayar pajaknya, begitu kata Ayah.

Sesampainya didaerah indarung, jalanan mulai mendaki pertanda sudah dekat pinggiran kota padang, atau sudah sangat dekat dengan perbatasan antara Kota Padang dan Kabupaten Solok. Seperti itulah geografis Sumatera Barat, Provinsinya yang memanjang sejalur dengan bukit barisan yang memanjang dari ujung ke ujung Sumatera. Dan kota Padang adalah Kota landai yang ketinggian dari permukaan lautnya mulai dari 0 MDPL sampai dengan >1000 MDPL, jadi yaa sebenernya dari awal perjalanan kearah solok sudah nanjak.

Cuma ketika telah sampai di Indarung tanjakan semakin tinggi dan suhu hutan lindung disepanjang Bukit Barisan lumayan dingin, sehingga suhu Kota Padang yang tadi panas, langsung down menjadi sangat dingin oleh angin gunung. Saya sudah pernah beberapa kali lewat di Alahan Panjang, dulu bersama sahabat lama saya pernah berhenti sekedar makan Mie Rebus dipinggir Danau Kembar yang menjadi kebanggan daerah situ. Dari kuah Mie yang mendidih ngga sampe lima menit itu, Mie habis kami lahap. Panasnya Mie udah ngga berasa dibanding suhu yang ada disana, dan kejadian makan Mie itu, kira-kira jam 11 Siang dikala Panas, bukan mendung bukan pula Hujan. Kebayang ‘kan dinginnya?

Opi ternyata juga memakai jaket seadanya, sepertinya dia juga menggigil dibelakang. Tapi setidaknya dia bisa melindungi tubuhnya yang mungil dibalik tubuh saya yang bongsor. Biasanya didaerah Solok dan Alahan Panjang langganan sekali dengan yang namanya hujan, namun alhamdulillah hari itu matahari terlihat begitu terik, tak ada terlihat awan yang ingin melindungi kami dari hangatnya cahaya matahari pagi itu, langit terlihat begitu biru dan bersih. Yaa bahasa singkatnya CERAH.

Tak lama kami melewati hutan lindung bukit barisan, sampai disimpang Selasih kami belok kanan kejalan yang bisa saja tembus kedaerah kerinci, jika lurus bisa lanjut kekota Solok dan melanjutkan perjalanan bisa saja ke jambi atau bukittinggi tinggal memilih simpang mau kiri atau kanan. Tak jauh dari simpang itu kami sudah disuguhi pemandangan kebun teh yang begitu hijau memantulkan cahaya matahari yang baru saja keluar dari balik gunung talang. Suasana nya yang menyejukkan hati. Cuacanya juga sangat sejuk.

Tidak sampai satu jam dari kebun teh, dari kejauhan kami sudah bisa melihat danau Atas, tidak ada kabut sedikitpun pagi itu, sehingga mata dengan leluasa memandang luasnya hamparan danau dikelilingi oleh bukit-bukit yang terlihat senantiasa menaungi danau. Pemandangan yang indah, Sumatera Barat sepertinya juga salah satu destinasi wisata alam yang patut diperhitungkan dalam skala nasional.

kebun teh gitu deh, (Sebenernya itu lagi ngupil)
Jalan raya yang kami lewati melewati pinggiran danau, sampai akhirnya tibalah jalan dimana kami membelakangi danau, perlahan pemandangan danau mulai menghilang kami melanjutkan perjalanan. Jalanan mulai mengecil dan sedikit jelek menurun dan mendaki serta banyak tikungan. Saya berkendara dengan pelan karena ngga begitu hafal jalanan didaerah sini.

Dan akhirnya sampailah kami didaerah Surian, memasuki kecamatan Pantai Cermin, meski sama sekali ngga ada pantai diatas gunung begini. Namun jika ditarik lurus kearah barat kecamatan ini memang segaris dengan kecematan Tarusan didaerah pesisir selatan, jalannya deket kalau mau menebas hutan lindung yang lebat diatas bukit barisan.

Kami berhenti disebuah Puskesmas yang telah dijanjikan oleh Opi dengan salah satu petugas Puskesmas yang ada disana. Kami bersalaman didepan TPR terminal yang tepat sekali didepan puskesmas tersebut. Abang Puskesmas itupun mengantar kami kerumah pasien jiwa yang tengah ditangani oleh Opi, tidak jauh dari puskesmas tersebut kami sampai disebuah rumah kayu yang sudah tua, mungkin jauh lebih tua dibanding ibu-ibu yang sedang membersihkan halamannya, melihat kami datang beliau langsung masuk kerumahnya yang sangat sederhana.

Saya menjadi sedih dengan keadaan Ibu itu, saya jadi ingat nenek saya yang akhir taun lalu meninggal dunia, kami membuka sepatu dan masuk kedalam rumah, tidak ada ruang tamu, tidak ada kursi tamu, bahkan tidak ada kamar dalam rumah itu. Rumah yang lumayan luas terbuat dari struktur kayu, beberapa lembar papan yang menjadi dindingnya sudah rapuh bahkan ada yang bolong.

Saya melihat kearah ibu itu, dia membentangkan sebuah tikar untuk kami duduk bersama, saya tidak melihat adanya tanda-tanda orang yang sedang sakit jiwa didalam rumah itu, saya melihat arah kebelakang, disana ada sebuah rak piring kecil lengkap dengan piring yang sudah bersih, barangkali sebelum membersihkan halaman ibu tersebut sudah terlebih dahulu mencuci piring sampai sebersih itu.

Dan ketika telah duduk bersama, mulailah Opi menyampaikan ada perihal apa dia datang kesana, selain menuntaskan tugasnya sebagai ex-mahasiswa yang mau sertifikasi juga membantu pasien jiwa yang sedang dia tangani. Dari pembicaraan mereka barulah saya tangkap beberapa maksud. Ternyata pasien tersebut sedang berada dirumah sakit jiwa yang ada dikota Padang. Maksud Opi datang kekeluarganya adalah menyampaikan bahwasanya pasien tersebut sudah tidak lagi dirawat dikejiwaan, dalam artian beliau yang tengah sakit jiwa tersebut sudah sembuh.

Kedatangan Opi menanyakan kekeluarga sudah saatnya pasien tersebut dijemput kerumah sakit jiwa yang ada di Kota Padang tersebut, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika pasien memang diputuskan untuk pulang oleh keluarga. Opi meminta harus ada petugas Puskesmas yang harus turut mengawasi pasien tersebut agar tidak lagi tertekan dan kambuh dan selalu mengawasi pasien untuk selalu minum obat tepat waktu.

Namun petugas Puskesmas sedikit keberatan, dikarenakan Puskesmas sendiri sudah sangat kewalahan melakukan pekerjaan mereka dikarenakan kekurangan personil. Tidak banyak yang mau menetap lama di Puskesmas desa yang jauh dari keramaian seperti ini, bagi saya didesa itu sangat damai. Tapi tidak bagi mereka yang diceritakan oleh abang-abang puskesmas tadi. Ada beberapa oknum yang telah resmi menjadi PNS dan ditunjuk sebagai petugas kesehatan didesa sana. Namun karena oknum-oknum tersebut punya taring yang kuat dipemerintahan, terkadang hanya sebulan mereka bertahan lalu “dipindah tugaskan” ketempat yang lebih hiruk pikuk dengan catatan gaji masih melalui Puskesmas desa tersebut. Mereka yang diatas sana seringkali menyalahgunakan jabatan dan kewenangan.

Dan tinggalah abang-abang puskesmas tadi yang notabene juga orang sana dan beberapa rekannya menjadi petugas kesehatan disebuah desa yang rata-rata penduduknya adalah petani yang menyebar keseluruh desa yang lumayan luas, dia cerita bahkan terkadang untuk sosialisasi dan memberikan vaksin terkadang harus pulang malam.

Saya melihat pancaran keihlasan dan kebesaran hati dari petugas kesehatan di Puskesmas tersebut, sepertinya mereka menikmati pekerjaan mereka, dikenal banyak orang karena kerap kali setiap kesakitan hampir selalu ada obatnya di Puskesmas tersebut. BEROBAT ITU WAJIB HUKUMNYA, YANG MENYEMBUHKAN ITU ALLAH, semboyan yang selalu teringat oleh saya sedari kecil ketika sakit. itu yang selalu Ibu sebut ke saya agar tidak pernah takut untuk berobat.

Abang puskesmas yang tadi duduk bersama kami bercerita tentang kejadian yang bersangkutan dengan pasien jiwa Opi, apa saja yang sering pasien jiwa itu lakukan, dan perihal apa mereka harus membawa pasien jiwa itu kerumah sakit jiwa. Dari semua cerita yang saya dengar. Yang bersangkutan terkena sakit jiwa dikarenakan ditinggal menikah oleh orang yang dicintainya, sehingga bathinnya tertekan sehingga dia kehilangan kendali bahkan kehilangan kewarasannya. Saat ditangani Opi sekarang beliau sudah untuk kesembilan kalinya masuk kerumah sakit jiwa. abang puskesmas itu bercerita, beliau dibawa kerumah sakit jiwa dikarena kerap membuat keresahan masyarakat. Namun pada dasarnya beliau sangat baik, seringkali menyapu dan membersihkan terminal, bahkan membersihkan motor penjaga TPR selagi dia masih tidur malam, dan terkejut ketika pagi motornya sudah dalam keadaan bersih dan mengkilat, semua pasien jiwa tersebut yang melakukannya.

Untuk masuk kesembilan kalinya beliau masuk kerumah sakit jiwa dikarenakan, beliau mematahkan keran air dimasjid dan menghancurkan tumpukan keramik yang sejatinya akan dipasang pada lantai masjid tersebut. Sehingga semua petugas kesehatan di Puskesmas merasa beliau sudah meresahkan masyarakat dan sudah saatnya direhabilitasi lagi ke Rumah Sakit Jiwa di Padang. Pasien jiwa tersebut sebenarnya tau beliau bakalan dibawa lagi ke Rumah Sakit Jiwa, dan menolak dan mengancam akan menghancurkan kaca ambulance jika dia tetap dibawa ke Padang, beliau minta ambulance berhenti dan setelah berhenti beliau lari kembali ke daerah terminal, akhirnya abang puskesmas yang tadi meminta bantuan kepolisian dan pihak polisi mengirim seorang polisi yang baru saja lulus tahun 2013, dan dengan jiwa muda yang dia punya polisi muda tersebut berhasil membujuk pasien jiwa untuk ikut kepadang tanpa ada lagi perlawanan.

Ternyata polisi tersebut jauh hari sebelum hari itu, sudah punya kisah unik dengan pasien jiwa tersebut. Sehingga pasien jiwa tersebut begitu patuh pada polisi muda tersebut, bisa dikatakan polisi tersebut seumuran dengan saya. Mendengar abang puskesmas itu bercerita membuat saya berfikir kehidupan dikampung ini seperti cerita-cerita FTV yang kadang membuat kita senyum tipis. Saya tekankan, terkadang hanya dimulut kita merasa benci dengan sebuah FTV namun ketika kita memperhatikan FTV tersebut 5 – 10 menit, kemungkinannya 80% kita akan ikuti cerita FTV tersebut sampai selesai, walaupun diakhir nanti kita akan berucap, “TUH KAN AKHIRNYA PASTI BEGINI”

Buat saya cerita abang tadi menjadikan desa ini mungkin bakalan menjadi desa spesial buat saya, dimana rasanya semua instansi berjalan sesuai denga jalurnya. Tanpa ada intrik dan penyalahgunaan kewenangan. Desa ini punya cerita manisnya sendiri, setiap satu orang dari warganya merupakan lakon utama dalam setiap cerita yang bisa mereka buat sendiri.

Hanyut dalam cerita abang puskesmas tadi, saya disadarkan oleh salah satu keluarga Ibu pasien jiwa tadi. Dari sana lah mungkin saya dapat ilmu umum yang mungkin begitu berharga buat saya kedepan. Beliau bercerita sambil menangis ketika Opi memberi opsi dibawa pulang dengan syarat selalu sanjung semua pekerjaan positifnya dan jangan pernah tekan bathinnya, atau pasien jiwa tersebut lebih dipulihkan lagi di Rumah Sakit Jiwa yang jauh lebih besar dan punya obat-obatan yang lebih lengkap di Palembang.

Beliau takut jika nanti dibawa ke palembang nanti anaknya bakalan disuntik mati dan udah ngga ada kabar lagi, namun beliau juga dilema jika pasien jiwa tersebut dibawa pulang dan kambuh lagi akibat tekanan orang-orang dari lingkungan luar yang bukan kelurganya, barangkali ejekan atau olok-olok dari orang sekampung. Dan JLEB!! Tiba-tiba saya berfikir, yang namanya orang gila kalo dia ngga diganggu dia ngga bakalan pernah mengganggu, menurut saya pribadi orang yang sakit kejiwaannya akibat tekanan batin yang luar biasa sehingga tidak ada koneksi lagi antara perasaan dan logikanya, yang penting baginya perasaannya tenang, sebagai salah satu contoh. Ketika kita mengganggu orang gila dan dia marah, dengan upaya apapun dia akan membalas bahkan dengan batu, kayu atau benda tajam sekalipun tanpa pernah memperhitungkan dengan logikanya apa yang akan terjadi nanti jika melakukan hal tersebut, baginya yang terpenting adalah batin dan perasaannya merasa tenang telah membalas perbuatan tersebut tak peduli dalam bentuk apapun itu.

Setelah cukup lama kami berpamitan pulang, dalam perjalanan pulang saya memberikan sebuah opini pada Opi dan ternyata cukup nyambung. “itu artinya, orang gila itu ngga boleh diejek ya Pi, apalagi diolok-olok. Harusnya kita sebagai masyarakat, dalam lingkungan orang gila yang misalkan baru keluar dari rumah sakit jiwa, kudu ikut bantu orang gila tersebut biar cepat sembuh, seperti yang dilakukan oleh perawat-perawat yang ditugaskan dirumah sakit Jiwa. Bukan malah sebaliknya memperolok orang gila sehingga batinnya kembali tertekan dan penyakit kejiwaannya kambuh” aku beropini panjang lebar ke Opi “harusnya hal seperti ini harus disosialisasikan ke Masyarakat, masyarakat diberi penyuluhan bahwasanya orang gila juga punya hak untuk sembuh, dan salah satunya ya dukungan dari lingkungannya, bukan begitu Pi?” lanjut pertanyaanku pada Opi.

“iya, harusnya begitu. Selama ini yang ada hanya penyuluhan tentang hal-hal yang umum saja ke masyarakat, dan kebanyakan dari masyarakat sudah tau, misalnya tentang bahaya narkoba, HIV dan AIDS, lalu tentang penyakit menular serta kesehatan ibu dan anak, penyuluhan tentang kelanjutan penyembuhan orang yang sakit jiwa tidak pernah ada” kata Opi mempertegas!

Yaaa, memang tidak seharusnya kita takut dengan orang sakit jiwa yang sudah keluar dari rumah sakit jiwa. Semua penyakit kejiwaan punya penyebabnya masing-masing dan mungkin ada diantara mereka yang frontal menyerang masyarakat, namun dapat dipertegas lagi seperti hukum sebab akibat, orang gila ngga bakalan pernah menyerang kalo dia ngga diganggu.

Sesampainya dikantor saya membuka diskusi dengan bang Iqbal, tempat saya banyak bertukar fikiran akhir-akhir ini. Saya menyampaikan Opini saya tadi ke bang Iqbal dan dia setuju dengan itu. Bang Iqbal juga punya pengalaman menarik dengan orang gila. Dulu ketika dia masih kuliah teknik sipil di USU Medan, dalam tugas lalu lintas dia sedang berada disebuah halte sedang menghitung banyak kendaraan yang lewat disebuah ruas jalan. Dihalte tersebut banyak sekali orang-orang sedang berkumpul menunggu angkutan umum, tak lama ada orang gila yang tiba-tiba datang ke Halte tersebut, semua orang menyingkir dari Halte kecuali bang Iqbal yang memilih untuk tetap duduk tenang dengan perasaan was-was, tak lama ada sebuah angkot berhenti tepat didepan bang Iqbal, namun bang Iqbal tidak naik. Dan ternyata orang gila tersebut mendekat ke angkot dan meminta uang. Supir angkot tersebut memberi uang 1000 rupiah dan salah satu penumpang juga memberi 1000 rupiah. Angkot itupun berlalu, dalam waktu yang tidak lama orang gila tersebut berjalan kearah bang Iqbal duduk di Halte tersebut. Bang Iqbal semakin takut dan was-was namun masih mencoba untuk diam. Sesampainya orang gila tersebut didepan bang Iqbal, orang gila tersebut memberikan uang yang ia dapat 1000 rupiah ke pada bang Iqbal, lalu pergi begitu saja.

Intinya tak pernah ada niat buruk yang ada pada orang gila tersebut, dia hanya kehilangan akal sehatnya. Saya sekeluarga dulu diwaktu kecil juga punya pengalaman menarik dengan orang gila, waktu itu malam hari hujan dari senja tak berhenti walau sejenak, sekitar jam 9 malam datanglah orang gila yang sudah terkenal dikampung saya, jika dikampung saya namanya disebut semua orang pasti tau. Dia membawa buku pelajaran kelas 6 SD entah dari mana dan jumlahnya cukup banyak. Dia menumpang berteduh diteras rumah saya, dia kelihatan kedinginan baju dan sarung lusuhnya basah oleh hujan, kepalanya ditutupi kantong kresek. Lantas? Apa yang dilakukan oleh Ayah dan Ibu waktu itu? Sama sekali tidak ada niat untuk mengusir, meski dalam keadaan gila dia juga manusia, Ibu kasihan melihat dia yang menggigil kedinginan berteduh diteras rumah menatap panjang kearah hujan lebat yang tidak kunjung reda, orang gila tersebut tidak peduli dengan kami.

Aku lupa malam itu kami sekeluarga sedang apa didalam rumah, yang jelas ibu memberinya makan lengkap dengan semua yang juga kami makan, namun hanya satu hal yang ibu lupa. Ibu lupa memberi air minum sehingga dia meminum air tirisan atap dengan begitu lahapnya. Aku lupa ceritanya entahkah ibu juga memberikan sebuah kain sarung atau tidak. Yang jelas orang gila tersebut meninggalkan buku pelajaran tersebut diberanda rumah, buku yang suatu saat nanti sering kami baca dan lihat-lihat gambarnya.

Entahkah dia lupa atau memang niat meninggalkan buku itu dirumah kami, yang jelas seperti hukum sebab akibat, orang gila ngga bakalan pernah ganggu kalo dia ngga diganggu. Dari mulai kejadian itu saya sama sekali ngga pernah takut lagi dengan orang gila satu itu, bahkan saya jengkel jika ada teman-teman saya yang memperolok nya ditengah pasar, seringkali juga saya kedapatan melihat dia memakan sisa-sisa jualan orang dipasar, tidak lupa dengan style biasanya, sarung lusuh dan topi kantong kreseknya. Hari ini kami sudah ngga tau lagi dimana dia, kabar yang saya dengar dia meninggal dunia. tapi dia dan pasar simpang empat, sebuah pusat kota dikampung saya, bakalan menjadi sebuah cerita yang ngga bakalan terpisahkan! Dia adalah salah satu bagian dari pasar simpang empat!

Cerita membelah bukit barisan ini menyerempet kemana-mana, intinya pelajaran yang saya dapat dari perjalanan itu adalah, orang gila juga punya hak untuk sembuh, dan kita sebagai orang yang waras harus mendukungnya untuk sembuh dengan cara tak usah mengganggu dan memperolok orang gila. Gila itu akibat kejiwaan, kalau ngga mau sakit jiwa, yaaa kenalilah diri sendiri dan tuhan kita. Dari mana kita berasal dan apa tujuan sebenarnya dari semua ini. Salah satu hal yang membuat kita gila adalah, tidak adanya iman didalam diri. Tidak ada keyakinan bahwa Allah itu maha besar dan dapat menyelesaikan semua masalah.

Dipenghujung cerita saya hanya berfoto-foto ria saja denga Opi, lalu melanjutkan perjalanan pulang. Ketika akan memasuki kota padang kami kena razia dan ditangkap, saya tidak punya SIM dan STNK, motor mau dibawa dan saya ngga tau mau pulang pake apa. Kami dipaksa nyogok, saya ngga tau ini bakalan batalin puasa atau enggak. Tapi ini terpaksa kami lakukan kalo engga kami mau pulang pake apa ditengah hutan beginii.

Disepanjang perjalanan pulang, yang ada dibenak saya waktu itu hanyalah, ini harus saya tulis agar nanti saya tidak lupa saya dapat pelajaran umum yang berharga dimasa lalu.

nih bonus Foto..
haseeeeekkkkk

ini nih yang namanya opi

3 comments: