Wednesday 20 February 2013

Cerita Tiga Hari #1


Tekanan showbiz? Mungkin ini yang sekarang sedikit menjadi beban, seminggu yang lalu aku berfikir mungkin sebaiknya aku pulang  saja kerumah dulu dan meminta libur selama tiga hari. Aku ingin melepas penat dengan cara yang aku suka. Pulang kerumah bertemu keluarga, dan kembali melihat-lihat kampung yang selama nyaris 6 tahun ini hanya beberapa hari saja aku habiskan disana. Yang paling lama hanya ketika lebaran, aku bisa stay dikampung selama 2 minggu.

Beda waktu pulang, beda cerita yang aku dapat. Pulang kali ini aku menyebutnya pulang kenangan, karena bertemu beberapa hal yang membuat aku kembali membongkar kotak-kotak kenangan yang ada diotakku. Wajah-wajah itu, jalanan itu, huft begitu berat rasanya menerima, ini sudah masuk tahun kesembilan berlalu, dan aku menyebutnya begitu saja.

Kegiatan pertama yang aku lakukan dirumah adalah menjeput keponakan kerumah abangku dan berniat membawanya kesebuah tempat wisata dikampung. Sekalian aku ingin ke mess tempat proyek aku bekerja yang sekarang pekerjaannya terhenti karena warga menolak pembangunan jembatan disitu dan ingin dipindahkan kekampungnya. Karena nyaris dua bulan proyek itu terhenti, aku ingin mengambil bajuku yang juga sudah 2 bulan disana ngga ada yang ngurus.

Sebelum berangkat ketempat wisata itu, karena keponakanku belum makan dari pagi dirumahnya, terpaksa aku yang terlebih dahulu menyuapinya makan, karena ibu juga sibuk dengan warung nasinya sekarang. Rasanya begitu lucu. ini alami saja, keponakanku sangat susah untuk menyuruhnya makan, tapi dengan caraku sendiri yang begitu mengalir dan alamiah, aku berhasil membuatnya mau makan bahkan bisa dibilang dengan porsi sangat banyak. Hari ini aku menyuapi keponakanku, mungkin disuatu hari yang lain beberapa tahun kedepan, mungkin aku sudah menyuapi anakku sendiri.

Aku ingat kembali belakangan ini, biasanya ayah tidak pernah serius menasehati aku tentang pasangan, tapi sekarang ayah sudah mulai serius tentang itu, dan ini begitu lucu rasanya. Ketika keluarga tau aku mulai dekat dengan beberapa perempuan, ibu dan ayah menelfon menanyakan aku sudah punya pacar apa belum. Dan selalu mewanti-wanti “kamu jangan pernah nyakitin anak gadis orang yah” selalu saja kata-kata itu yang aku dapat ketika ayah dan ibu sudah membicarakan jodoh, mengingat setelah uni menikah akulah anak selanjutnya yang diancam dengan kata-kata “kapan kawin?”, sampai pada akhirnya aku mengerti betapa menyebalkannya dipertanyakan dengan pertanyaan semacam itu, tapi aku berusaha menikmatinya, mengingat belum ada siapapun yang telah duduk manis dalam relung hati yang aku simpan sangat dalam, belum ada seorangpun yang bisa membuat aku benar-benar jatuh cinta. Kalau hanya rasa suka, banyak sekali perempuan yang aku sukai, namun yang benar-benar membuat aku mabuk rasanya belum ada.

Kadang aku berfikir, dijodohkan mungkin jauh lebih baik, karena aku hanya tidak ingin mengecewakan ayah dan ibu dengan pilihanku sendiri. Rasanya begitu egois bila aku harus memaksakan kehendakku tanpa memikirkan perasaan orang lain. Disisi lain aku juga percaya cinta itu diciptakan, bukan datang dengan sendirinya, hanya kita sendiri yang tidak sadar, ketika melihat pesona seseorang kita telah membuat begitu banyak cinta berterbangan didalam hati, terkadang cinta itu menjadi suatu hal yang sangat sederhana, tetapi terkadang cinta juga bisa menjadi begitu rumit untuk diartikan. Mario teguh juga bilang, cinta sejati itu tidak ada kalau bukan kita yang mensejatikannya. Dan satu lagi, nyari sendiri atau dijodohkan itu bagiku bukan sebuah pilihan. Jika jalannya kita bisa menemukan dan menjeputnya sendiri ketangan tuhan kita akan dapat, karena jodoh ditangan tuhan, kalo ngga dijemput. Ya jodoh bakalan tetap ditangan tuhan. Hanya caranya saja yang berbeda. Dan tetap aku yakin sekali dijodohkan atau nyari jodoh sendiri itu bukanlah sebuah pilihan.

Ngajakin ponakan ke proyek, deket tumpukan tiang Pancang

abis itu ngajak ponakan main dipantai

Wednesday 13 February 2013

Pelangi Chapter I


Lagi, kembali aku memencet tuts tuts keyboard ini ketika diluar, dijantung kota kecil ini masih menetes riuh hujan berkejaran dari langit. Nyaris seperti rinai, tapi sepertinya lebih layak dipanggil hujan. Yap hujan yang menutup malam ini.

Aku ngga begitu tau harus dari mana memulainya. Rasanya ini hanya masuk dalam hidupku begitu saja, dan membuatnya begitu berbeda. Ada warna yang datang dan sedikit merubah warna langit dihidupku. Dari dulu aku ngga pernah bisa, menulis sebuah arti yang dalam tentang apa yang sedang aku lalui bersama orang lain, jika hanya bercerita tentang apa yang aku lakukan dengan orang-orang yang tengah aku lalui mungkin bisa. Tapi tidak untuk mereka yang punya arti. Tapi malam ini aku coba paksa kan.

Satu setengah tahun yang lalu, aku tengah sibuk menggambar sendiri peta kehidupanku, dimana pinggiran laut akan aku garis, atau dimana letak gundukan gunung akan aku tumpukkan, semua terasa rapi dan sempurna. Mimpi-mimpi itu, aku ingin berjalan egois sendiri ditengah peta yang masih aku rancang itu. Tapi tidak semudah itu, tuhan punya skenario lain yang jauh lebih sempurna, hanya saja waktu itu aku tidak begitu menyadari apa yang akan aku jalani akan lebih berarti bila megikuti alur skenario tuhan, atau aku harus keluar dari zona nyamanku.

Saat itu aku berencana ditengah kesibukanku bekerja, aku akan melanjutkan kuliah dengan begitu gampangnya sendiri selama 4 tahun dan menyelesaikannya begitu saja, dan rasanya aku tidak butuh orang lain. Egois sekali memang. Tapi skenario tuhan ternyata tidak begitu, ketika aku sampai pada bulan-bulan awal perkuliahan, aku harus dipindah tugaskan ketempat yang jauh. Aku masih bisa rasakan buramnya sore itu ketika aku akan berangkat jauh ada ayah dan ibu didapur ketika itu. Dan rasanya semua peta itu hancur berantakan, mimpi jangka panjangku mulai berhenti disitu.

Sampai saat ini aku sadar sendiri, ini bukan lagi tentang kuliah, atau tentang mimpi jangka panjang itu. Bahkan tuhan memberi cerita yang begitu lebih berarti.

Aku teringat kembali percakapanku dengan temen satu kos uni, ketika kemaren aku sempat bertemu lagi dengannya, aku punya kesempatan bertemu karena nganter undangan pernikahan uni. Undangan untuk temen-temennya yang masih setia mengenakan almamater kampus, sedangkan uni sendiri, sudah bersiap untuk duduk dipelaminan waktu itu.

Namanya Prima. Dan bukan nama samaran, sumpah waktu itu aku kaget banget ngeliat dia, mungkin udah 2 taunan ngga ketemu sama dia, aku fikir ketika dia keluar dari kosannya, yang keluar itu Mita the virgin, “EEHH buset, Mita kos disini yakk!!” aku nyaris SHOOCKKK!!!, sekarang dia rasanya jauh dari kata cantik, manis dan imut, dulu itu ketika tahun 2008 dia juga pernah datang kerumahku, ketika acara resepsi pernikahan abang aku yang paling gede, rambutnya panjang dikasih poni, cakeepppp banget!, dan sifatnya, sedikit bertolak belakang deh, ngga perlu deh aku ceritain aib orang, pissss kak Prima.

Dan ternyata yang keluar itu Prima bukan Mita, seperti biasa basa-basi nanya kabar dan dia nanya iam, hufft udah 2 tahun juga waktu itu aku sangat jarang ketemu iam, dan iam selalu sibuk dengan perkuliahaannya, dan aku mengerti.

Entah darimana awalnya aku dan Prima sampai pada cerita tentang “Teman dan Sahabat”, dia mulai bercerita tentang teman-teman SMA-nya yang semenjak kuliah jadi rada-rada sombong, prima berfikir mungkin teman-teman yang seperti itu merasa mereka jauh lebih bermartabat dengan teman-temannya yang sekarang dan mungkin merasa jauh lebih intelektual sehingga meninggalkan bahkan melupakan teman-teman lamanya yang sudah jauh hari saling berkenalan. Hal yang sama seperti aku fikirkan, entahlah bagaimana orang lain, yang jelas aku juga merasakan hal yang sama, ketika kita sudah lepas dari lingkaran pergaulan itu dan menemukan lingkaran baru disitu akan sangat terlihat sekali siapa yang teman, dan mana yang sahabat. Jawabannya ketika kita ngga bisa mengartikan pergaulan kita teman atau sahabat, dengan sangat mudah waktu yang akan menjawabnya.

Banyak sekali aku menemukan orang yang semacam itu dalam hidupku, ketika kemarin-kemarin aku mencoba lagi untuk bertemu dan bersilaturrahmi dengan teman-teman lamaku, memang aku memulainya dengan menghubungi satu persatu dengan handphone. Banyak yang langsung kenal, dan ada yang lama mikirnya, dan juga banyak yang sama sekali ngga kenal lagi dengan aku bahkan setelah aku menyebutkan namaku padanya. Entahkah mereka benar-benar lupa, atau memang aku tidak pernah punya arti dalam hidup mereka.

Percakapan aku dengan Prima berhenti karena temen-temen kosnya berteriak dari dalam, ingin membeli beras. Dan aku tersenyum geli serta kagum, ini sudah 4 tahun lebih dia kuliah dan kos ditempat ini, dan selama itu juga dia jualan beras dikosannya, aku bingung sendiri, tampilan visual dia, sikapnya, perilakunya, dan pemikirannya semua bertolak belakang, kadang aku berfikir Prima itu makhluk paling komplit yang pernah aku temui, dan juga susah ditebak.

Aku kembali kekantor malam itu, rasanya Limau manis dan Padang Baru itu jauh banget! Ngga kayak biasa dulu, aku sering kekosannya itu pake F1ZR nya iam, bahkan naik angkot, tapi semua terasa dekat! Sepanjang jalan aku berfikir, barangkali itulah yang jurang pemisah antara TEMAN dan SAHABAT!

Teman itu akan lapuk dan hancur dimakan ruang dan waktu, tapi Sahabat ngga akan pernah terpisah oleh ruang dan waktu!

Sejauh apapun ruang, ngga akan pernah menghapus rindu pada sahabat. Selama apapun waktu, ngga akan pernah menghapus memori-memori yang pernah ada tentang sahabat, tapi kenangan dengan teman akan cepat termakan usia. Karena itu aku mengatakan, waktu bisa menjawab tentang arti teman dan sahabat!

Untuk sahabat aku Sisil, yang setiap saat bertanya. Apa beda antara teman dan sahabat, bagiku inilah jawaban sederhananya, sangat simpel.

to be continuous to Chapter II
*******

sumber gambar : http://putriejrs.blogspot.com/2012/01/makna-7-warna-pelangi.html