Wednesday 28 August 2013

Rindu

Angin mengusap lembut wajahku, temali yang memanjang kelangit mengarah pada benda yang berterbangan kesana kemari, layangan dahulu kami menyebutnya. Angin sahabatnya, dan langit tempat seharusnya dia berada.

Lagu yang menemani aku pulang hari itu seperti gelombang pasang, mengingatkan aku lagi pada tahun-tahun dimana aku sama sekali tak punya tanggung jawab. Waktu begitu cepat bergulir, sehingga rindu lambat laun semakin menjadi penyakit yang membuat dada begitu sesak, tiada yang tau pasti apa yang akan bisa menjadi penawarnya.

Dahulu rumah didepan rumahku ini tak ada, dahulu Mtsn yang sekarang sesak dengan kelas itu adalah lapangan bermain layang-layang kami anak kampung. Jikalau tak percaya, tiga kelas permulaan itu yang menjadi saksinya, langit biru yang perkasa itu tau tentang canda dan manis senyum yang kami punya meski dalam bijaksananya langit hanya diam dan menyimpan setiap cerita itu untuk dia nikmati sendiri, dan langit tak tahu. Aku masih menyimpan rapi memori semacam itu dikepalaku. Ketika kepalaku membongkar kembali cerita itu, lantas hanya akan menyesakkan dadaku.

Aku senang, aku hanya akan mengembangkan senyum, katika sadar aku punya kenangan semanis itu, kenangan yang jauh dari hiruk-pikuk teknologi seperti saat ini, aku senang bagian masa laluku, berada dalam kampung dengan teman sebaya seperti ini. Aku senang bisa tumbuh diluasnya hamparan sawah yang setiap tahunnya menghijau lalu menguning, aku senang bisa belajar berenang dialiran sungai yang sangat-sangat jernih, aku senang bisa berlarian ditengah hamparan ladang jagung walau diakhirnya seluruh badanku gatal, aku senang sempat berkejar-kejaran dengan temanku dipematang sawah dan bermain lempar lumpur ditengah sawah yang hendak digarap, aku senang pernah dikejar petani semangka karena ketahuan mencuri semangkanya. Aku senang dimarahi ibu ketika disore hari aku pulang dalam keadaan sangat kotor, aku senang setiap malam dimarahi guru ngaji karena sering salah dalam tajwid, aku senang tidur dimesjid setiap malam minggu, untuk mengikuti didikan subuh disetiap minggu paginya, aku senang bermain layangan dengan teman-temanku meski layanganku paling jelek, aku senang mengejar layangan yang putus dengan teman-temanku meski lariku paling lamban. banyak lagi, sungguh banyak lagi yang membuat aku senang menjadi anak kampung. Disebuah desa yang orang sebut Katimaha.


Ipat, Domi, Ryan, Endi, Iga, Yandi, Datuak, Viktor, Ranggi, Menor, Buyuang. Sahabat masa kecil yang luar biasa, ribuan hari luar biasa yang aku lalui bersama mereka. Untuk sama-sama belajar tumbuh dan dewasa. Aku rindu, sungguh sangat rindu.

*Mencoba menulis lagi, mengumpulkan aksara, jadikan kalimat dan memulai lagi dari hal yang kecil

Langit Biru yang Jadi Saksi Kita

8 comments: