Sore itu cahaya matahari
menggantung diatap rumah sepanjang jalan yang aku lihat, jauh di barat sana
matahari sudah berkemas untuk pamit, dan disisi sebaliknya awan hitam sudah
menggumpal pekat seperti akan luruh begitu saja. Sepertinya nanti malam akan
hujan besit ku dalam hati, aku ingat-ingat lagi percapakanku dengan seorang
rekan sebentar ini sebelum dia memilih di halte mana dia akan menunggu Bus
Trans Padang. Ketika ia turun dan berpamitan, cerita yang singkat tetapi penuh
arti untuk diriku itupun berakhir pula begitu saja.
Dia teman baikku, teman
sedari lama. Dan hari ini sebuah Proyek di Bandara Internasional Minangkabau
mempertemukan lagi aku dengannya. Pada hari-hari biasa dia diantar pulang oleh
seorang driver kantor ke halte Trans terdekat, lalu dia dan calon buah hatinya
akan mulai berdesakan dengan penumpang lain yang bisa jadi beberapa anak SMA
yang bau matahari katanya, menuju halte yang lain dimana suaminya sudah menunggu.
Sudah menjadi rutinitasnya beberapa bulan belakangan ini.
Sore itu driver yang
biasa mengantarkannya sedang izin karena sakit, lalu aku manawarkan diri untuk
mengantarnya ke halte terdekat sekalian mengambil beberapa fotokopian yang aku
tinggalkan sedari siang. Beberapa tahun belakangan aku memang jarang bercerita
lagi dengannya, karena memang kesibukan masing-masing dan karena dia sudah
menikah tentunya. Dan sore itu entah kenapa aku mulai penasaran dengan apa yang
suaminya lakukan dengan pekerjaannya. Yang aku tau suaminya adalah seorang
tenaga pengajar bahasa inggris disebuah lembaga pendidikan, tetapi disuatu
waktu yang lain dia juga menjadi seorang tour guide. Sejauh yang aku tau masih
sekitaran Asia, sebelum menikah mereka juga pernah beberapa kali ke luar
negeri, sampai ke Nepal yang entah apa tujuan dari perjalanan itu.
Awalnya aku bertanya
kepadanya. “Hmmm, proyek ini kan bakalan selesai beberapa bulan lagi. Kalo
misalkan engga ada lagi proyek baru di-sumbar, trus jadi kamu resain?” aku
bertanya dengan sebuah pertanyaan yang sudah berulangkali aku pertanyakan
sebenarnya. “kalo misalkan disuruh standby di Medan, iyalah. Mana boleh sama
suami kerja jauh-jauh disana, berarti jodohnya dengan perusahaan ini sampai
disitu aja.” Jawabnya dengan begitu rasional, entah kenapa semua kata-katanya
begitu masuk akal dalam kepalaku.
“Trus nanti mau kerja
apa lagi?” sebuah pertanyaan yang aku pertanyakan kepada siapapun, karena
sepertinya aku juga butuh mempertanyakan itu kepada diriku sendiri. “Rencana
sih mau jualan Online, mau dirintis dari sekarang rencananya, biar nanti pas
kalau misalkan emang harus resain, usahanya udah jalan, trus fokus ngurus bayi
aja dirumah, lagian kayanya kalo bayinya udah gede kan bisa nemenin suami jadi
tour guide sekalian jalan-jalan. Soalnya dari kemarin banyak yang nanya-nanya
pas suami buka open trip ke Kashmir itu, akunya ikut ngga? Mereka mau daftar
kalo aku ikut” penjelasan itulah yang akhirnya membuat pertanyaanku menjadi
panjang lebar.
“Eh, kan suami kamu
ngajar, terus kapan ada waktu buat jadi tour guide berhari-hari. Emang ngga
dimarahin sama yang punya tempat les?” aku mulai penasaran. “engga lah, kan
ngajar les itu cuma delapan bulan dalam setahun, nah sisanya itu dia mulai
nyari-nyari tiket-tiket promo buat bisa open trip ke luar negeri. Atau kalau
ngga dia narik grab.” Aku sedikit terkejut dengan jawabannya “hah? Pake mobil
siapa narik grab?” aku penasaran “grab bike, namuah hatinyo (dia orang yang
berkemauan keras)” aku masih sedikit tidak percaya masih terdiam sejenak
“kadang suami juga buka jasa titip oleh-oleh” sambungnya, “hah? Apa itu?” aku
semakin bingung, “yaa kaya lebaran kemarin, Aku bawa 2 kardus oleh-oleh ke
Lampung titipan-titipan orang, lumayan juga kok. Trus pas balik ke Padang nya,
ada juga yang nitip oleh-oleh dari Lampung” dan aku masih terdiam sangat lama
tidak menyangka suaminya adalah seseorang yang pekerja keras seperti itu.
“Enak ya, jadi Tour
Guide. Bisa jalan-jalan gratis keluar negeri” kataku sambil menghentikan mobil
disebuah halte Bus Trans Padang, “Iya, dan untungnya juga lumayan lagi” katanya
sambil membuka pintu dan keluar dari mobil “makasih ya” sahutnya menutup pintu
mobil, aku lihat dispion mobil dia sudah berjalan kearah halte, aku meneruskan
perjalanan lagi balik ke kantor.
Sendirian disepanjang
jalan membuat aku berpikir lebih panjang lagi dengan percakapan-percakapan
sederhana tadi, aku berfikir suami temanku tadi memang benar-benar tau
bagaimana menjadi seorang manusia, ditengah banyaknya orang-orang yang
kehilangan jati dirinya sendiri, meluruhkan harga diri untuk sebuah jabatan
atau melakukan hal-hal buruk untuk mencapai sebuah target yang jelas-jelas akan
semakin semu.
Dia tau bagaimana
menjadi suami yang baik yang selalu ada menjemput kemana saja, ketika ia tau
istrinya lelah bekerja seharian. Dia paham bagaimana menyikapi kehilangan
malaikat kecilnya anak pertama, setahun yang lalu. Aku tidak tau dia orang yang
benar-benar sekuat itu, dia bisa melakukan apa saja dijalan yang benar untuk
kebahagiaan dia dan istrinya. Beberapa minggu yang lalu ketika aku dan rekan
tadi bercerita. Kapan mau beli rumah, kan banyak tuh sekarang kredit rumah
dengan DP yang murah-murah, aku bertanya. Lalu dia menjawab, “suami ngga mau
kredit berhutang lama-lama seperti itu, kalo pun harus membeli rumah, dia mau
beli cash! Yaudah ikut apa kata suami saja” katanya.
Selain dia adalah
seorang pekerja keras, dia ternyata orang yang erat memegang prinsipnya.
Harusnya aku bersyukur, aku hidup disekeliling orang-orang luar biasa yang bisa
aku contoh segala kebaikannya, tanpa mereka harus mengajarkan itu secara
langsung kepada diriku sendiri. Sampai hari ini aku masih lah orang yang takut
kehilangan pekerjaan, orang yang masih risau masih adakah rezeki yang bisa aku
terima esok pagi. Padahal Allah sudah menjamin bahkan untuk setiap hewan melata
di bumi, tidak ada yang akan mati kelaparan selagi masih ada usaha yang dapat
kita lakukan. Tapi entah kenapa hati masih begitu risau tentang hari esok.
Sepertinya aku masih tergolong orang-orang yang kurang bersyukur atau bahkan
golongan yang tidak bersyukur.
Malam telah begitu
larut ketika aku mulai mengetik semua tulisan ini, dan mendung yang tadi begitu
gelap sama sekali tidak menurunkan hujan malam ini. Aku terlalu berprasangka
tentang apa yang akan terjadi ke depannya, padahal bukan tugasku untuk
menentukan hasil akhir dari sebuah usaha. Yang aku perlu hanya berdoa dan
menjalankannya dengan baik. Seperti itulah seharusnya hidup. Perkara Family
Man, aku juga ingin menjadi sosok seperti itu, pulang kerumah sebelum maghrib,
dan makan malam bersama keluarga. Mencapai sebuah kebahagiaan dengan hal-hal
sederhana semacam itu. Seperti inilah kepalaku akhir-akhir ini, sesak dengan
mencari hikmah dari semua hal yang aku lakukan, dari semua hal yang aku
bicarakan. Bukan untuk mengajari atau menggurui orang-orang, ini hanya menjadi
catatan untuk diriku sendiri bila seandainya kelak aku lupa, aku bisa ingat
lagi seperti apa aku menjalani hidup dulu. Semoga aku termasuk salah satu orang
yang pandai menikmati hidup yang sudah dianugrahkan ini.
I'm your little fans by the way |
No comments:
Post a Comment