Saturday 29 September 2018

The Family Man – Kisah Tentang Orang-Orang yang Pandai Menikmati hidup


Sore itu cahaya matahari menggantung diatap rumah sepanjang jalan yang aku lihat, jauh di barat sana matahari sudah berkemas untuk pamit, dan disisi sebaliknya awan hitam sudah menggumpal pekat seperti akan luruh begitu saja. Sepertinya nanti malam akan hujan besit ku dalam hati, aku ingat-ingat lagi percapakanku dengan seorang rekan sebentar ini sebelum dia memilih di halte mana dia akan menunggu Bus Trans Padang. Ketika ia turun dan berpamitan, cerita yang singkat tetapi penuh arti untuk diriku itupun berakhir pula begitu saja.
 
Dia teman baikku, teman sedari lama. Dan hari ini sebuah Proyek di Bandara Internasional Minangkabau mempertemukan lagi aku dengannya. Pada hari-hari biasa dia diantar pulang oleh seorang driver kantor ke halte Trans terdekat, lalu dia dan calon buah hatinya akan mulai berdesakan dengan penumpang lain yang bisa jadi beberapa anak SMA yang bau matahari katanya, menuju halte yang lain dimana suaminya sudah menunggu. Sudah menjadi rutinitasnya beberapa bulan belakangan ini.

Sore itu driver yang biasa mengantarkannya sedang izin karena sakit, lalu aku manawarkan diri untuk mengantarnya ke halte terdekat sekalian mengambil beberapa fotokopian yang aku tinggalkan sedari siang. Beberapa tahun belakangan aku memang jarang bercerita lagi dengannya, karena memang kesibukan masing-masing dan karena dia sudah menikah tentunya. Dan sore itu entah kenapa aku mulai penasaran dengan apa yang suaminya lakukan dengan pekerjaannya. Yang aku tau suaminya adalah seorang tenaga pengajar bahasa inggris disebuah lembaga pendidikan, tetapi disuatu waktu yang lain dia juga menjadi seorang tour guide. Sejauh yang aku tau masih sekitaran Asia, sebelum menikah mereka juga pernah beberapa kali ke luar negeri, sampai ke Nepal yang entah apa tujuan dari perjalanan itu.

Awalnya aku bertanya kepadanya. “Hmmm, proyek ini kan bakalan selesai beberapa bulan lagi. Kalo misalkan engga ada lagi proyek baru di-sumbar, trus jadi kamu resain?” aku bertanya dengan sebuah pertanyaan yang sudah berulangkali aku pertanyakan sebenarnya. “kalo misalkan disuruh standby di Medan, iyalah. Mana boleh sama suami kerja jauh-jauh disana, berarti jodohnya dengan perusahaan ini sampai disitu aja.” Jawabnya dengan begitu rasional, entah kenapa semua kata-katanya begitu masuk akal dalam kepalaku.

“Trus nanti mau kerja apa lagi?” sebuah pertanyaan yang aku pertanyakan kepada siapapun, karena sepertinya aku juga butuh mempertanyakan itu kepada diriku sendiri. “Rencana sih mau jualan Online, mau dirintis dari sekarang rencananya, biar nanti pas kalau misalkan emang harus resain, usahanya udah jalan, trus fokus ngurus bayi aja dirumah, lagian kayanya kalo bayinya udah gede kan bisa nemenin suami jadi tour guide sekalian jalan-jalan. Soalnya dari kemarin banyak yang nanya-nanya pas suami buka open trip ke Kashmir itu, akunya ikut ngga? Mereka mau daftar kalo aku ikut” penjelasan itulah yang akhirnya membuat pertanyaanku menjadi panjang lebar.

“Eh, kan suami kamu ngajar, terus kapan ada waktu buat jadi tour guide berhari-hari. Emang ngga dimarahin sama yang punya tempat les?” aku mulai penasaran. “engga lah, kan ngajar les itu cuma delapan bulan dalam setahun, nah sisanya itu dia mulai nyari-nyari tiket-tiket promo buat bisa open trip ke luar negeri. Atau kalau ngga dia narik grab.” Aku sedikit terkejut dengan jawabannya “hah? Pake mobil siapa narik grab?” aku penasaran “grab bike, namuah hatinyo (dia orang yang berkemauan keras)” aku masih sedikit tidak percaya masih terdiam sejenak “kadang suami juga buka jasa titip oleh-oleh” sambungnya, “hah? Apa itu?” aku semakin bingung, “yaa kaya lebaran kemarin, Aku bawa 2 kardus oleh-oleh ke Lampung titipan-titipan orang, lumayan juga kok. Trus pas balik ke Padang nya, ada juga yang nitip oleh-oleh dari Lampung” dan aku masih terdiam sangat lama tidak menyangka suaminya adalah seseorang yang pekerja keras seperti itu.

“Enak ya, jadi Tour Guide. Bisa jalan-jalan gratis keluar negeri” kataku sambil menghentikan mobil disebuah halte Bus Trans Padang, “Iya, dan untungnya juga lumayan lagi” katanya sambil membuka pintu dan keluar dari mobil “makasih ya” sahutnya menutup pintu mobil, aku lihat dispion mobil dia sudah berjalan kearah halte, aku meneruskan perjalanan lagi balik ke kantor.

Sendirian disepanjang jalan membuat aku berpikir lebih panjang lagi dengan percakapan-percakapan sederhana tadi, aku berfikir suami temanku tadi memang benar-benar tau bagaimana menjadi seorang manusia, ditengah banyaknya orang-orang yang kehilangan jati dirinya sendiri, meluruhkan harga diri untuk sebuah jabatan atau melakukan hal-hal buruk untuk mencapai sebuah target yang jelas-jelas akan semakin semu.

Dia tau bagaimana menjadi suami yang baik yang selalu ada menjemput kemana saja, ketika ia tau istrinya lelah bekerja seharian. Dia paham bagaimana menyikapi kehilangan malaikat kecilnya anak pertama, setahun yang lalu. Aku tidak tau dia orang yang benar-benar sekuat itu, dia bisa melakukan apa saja dijalan yang benar untuk kebahagiaan dia dan istrinya. Beberapa minggu yang lalu ketika aku dan rekan tadi bercerita. Kapan mau beli rumah, kan banyak tuh sekarang kredit rumah dengan DP yang murah-murah, aku bertanya. Lalu dia menjawab, “suami ngga mau kredit berhutang lama-lama seperti itu, kalo pun harus membeli rumah, dia mau beli cash! Yaudah ikut apa kata suami saja” katanya.

Selain dia adalah seorang pekerja keras, dia ternyata orang yang erat memegang prinsipnya. Harusnya aku bersyukur, aku hidup disekeliling orang-orang luar biasa yang bisa aku contoh segala kebaikannya, tanpa mereka harus mengajarkan itu secara langsung kepada diriku sendiri. Sampai hari ini aku masih lah orang yang takut kehilangan pekerjaan, orang yang masih risau masih adakah rezeki yang bisa aku terima esok pagi. Padahal Allah sudah menjamin bahkan untuk setiap hewan melata di bumi, tidak ada yang akan mati kelaparan selagi masih ada usaha yang dapat kita lakukan. Tapi entah kenapa hati masih begitu risau tentang hari esok. Sepertinya aku masih tergolong orang-orang yang kurang bersyukur atau bahkan golongan yang tidak bersyukur.

Malam telah begitu larut ketika aku mulai mengetik semua tulisan ini, dan mendung yang tadi begitu gelap sama sekali tidak menurunkan hujan malam ini. Aku terlalu berprasangka tentang apa yang akan terjadi ke depannya, padahal bukan tugasku untuk menentukan hasil akhir dari sebuah usaha. Yang aku perlu hanya berdoa dan menjalankannya dengan baik. Seperti itulah seharusnya hidup. Perkara Family Man, aku juga ingin menjadi sosok seperti itu, pulang kerumah sebelum maghrib, dan makan malam bersama keluarga. Mencapai sebuah kebahagiaan dengan hal-hal sederhana semacam itu. Seperti inilah kepalaku akhir-akhir ini, sesak dengan mencari hikmah dari semua hal yang aku lakukan, dari semua hal yang aku bicarakan. Bukan untuk mengajari atau menggurui orang-orang, ini hanya menjadi catatan untuk diriku sendiri bila seandainya kelak aku lupa, aku bisa ingat lagi seperti apa aku menjalani hidup dulu. Semoga aku termasuk salah satu orang yang pandai menikmati hidup yang sudah dianugrahkan ini.

I'm your little fans by the way


No comments:

Post a Comment