Thursday 25 August 2016

Cara Lelaki Patah Hati

Hari ini selasa, ketika kemaren terasa semua berantakan disepanjang hari ketika salah seorang teman mengirim sebuah pesan pendek dipagi hari, disaat itu aku sedang sarapan pagi sambil menunggu kantor pengurusan surat izin mengemudi buka. Isinya ringkas, tapi rasanya cukup membuat hari itu terasa tergesa, detik jam yang dilihat pada hari biasa serasa pelan. Namun setelah pesan itu masuk, jarum menit serasa jarum detik kecepatan geraknya.

Skripsi kamu sudah jilid?
Hari ini dikumpul terakhir,
Kalo engga nanti nilai ngga keluar.
 
Aku teringat kembali akan revisi skripsi yang sama sekali belum aku sentuh, skripsi yang kertas revisiannya sudah berdarah-darah namun bukan karena susah dalam pengerjaannya. Darah dalam artian sebenarnya karena teman sekamar mengelap darah bekas jerawatnya dengan kertas tersebut, kertas berharga bagiku yang dianggap kertas tidak penting dan siap untuk dibuang.

Malam 27 Ramadhan
Ini untuk pertama kalinya aku dan dia jalan berdua, sudah lama aku ingin berbicara langsung dengan dia berdua saja. Tentang semua apa yang terasa didalam hati, tentang keinginan-keinginan dan harapan-harapan yang semoga baik dan menyenangkan pada akhirnya nanti. Pun aku ingin tau seperti apa rasa didalam hatinya, seperti apa yang dia inginkan apakah nantinya akan sama.

Pukul 18:00 aku menjemputnya kerumah, bertemu dengan orang tuanya. Dan sedikit bicara kabar dan kesibukan apa yang sedang dijalani sekarang, seraya menunggu dia selesai dengan semua persiapannya. Hari itu aku dan dia berbuka puasa bersama berdua saja disebuah tempat makan disekitaran jantung kota Padang.

Setelah selesai shalat maghrib, kami kembali kemeja yang sudah dibooking sedari sore. Masih membicarakan tentang kesibukan apa yang sedang kami jalani, dan akhirnya sampailah pada bahasan itu, aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Dia punya pesona, dan kelebihan yang membuat aku semakin suka dalam kesederhanaannya. Aku mengenal saudara-saudaranya, dan kedekatan itu yang membuat aku juga mengenal dekat orang tuanya. Semua orang tau aku menyukainya, semua orang juga tau, untuk saat ini aku tidak ada niatan untuk berpacaran tidak jelas ketika mendekati seseorang.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya aku menyatakan apa yang aku rasa didalam hati, dia mengerti tentang semua-semua yang aku harapkan. Aku ingin menikahinya, pun dia menjawab bersedia dinikahi oleh aku. Tapi dalam posisinya yang sekarang dia tidak akan bisa memberi keputusan kapan niat baik itu akan terlaksana, tidak ada kesepakatan apa-apa malam itu. Aku suka dan ingin menikahinya dan diapun begitu. Tapi semua tak akan pernah berjalan semudah itu. Dari setiap penuturannya aku sudah mulai gelisah dan ragu dengan akhir dari cerita ini.

10 hari setelah lebaran
Aku sudah berada dikota Padang lagi untuk kembali beraktifitas, setelah sebelumnya aku pulang dan berdiam diri dirumah menikmat libur lebaran bersama keluarga. Tak lama dari itu dia menghubungiku, ingin bertemu melanjutkan kesepakatan yang belum menemui titik temu pada malam 27 Ramadhan itu. Aku datang sekalian berlebaran kerumahnya, mengucap salam dan bermaaf-maafan dengan semua yang ada didalam rumah. Sore itu bercengkrama hangat dengan keluarganya, sampai pada akhirnya aku keluar berdua dengannya melanjutkan percakapan yang masih terpotong itu, sekalian nanti aku juga akan mengantar dia kerumah kakak sepupunya untuk menginap disana.

Aku duduk tepat didepannya, sama seperti pertemuan sebelumnya. Cerita masih seputaran kegiatan apa yang menyibukkan selama ini, karena intensitas komunikasi aku dengan dia bisa dibilang jarang. Dan tiba-tiba mukanya memerah dan menunduk, lalu mengatakan padaku. Dia belum siap untuk menikah pada umur yang telah aku katakan padanya pada malam 27 Ramadhan itu. Dia meminta aku menunggu lebih lama dari pada rentang waktu yang aku bisa, seperti yang aku katakan sebelumnya.

Kali ini aku yang dibuat berfikir keras untuk hal ini. Aku tidak mungkin bisa menunggu selama itu, meski dia sudah meyakinkan aku untuk menunggunya. Sore yang sendu itu juga sama nasibnya dengan malam 27 Ramadhan yang lalu. Kami tak pernah memiliki titik temu untuk masalah tunggu menunggu ini. Aku juga belum bisa membuat keputusan sore itu, ujung cerita yang dulunya aku ragukan akhirnya, semakin membuat aku jatuh dalam kebimbangan. Aku mengantarnya kerumah sepupunya dan mengatakan berfikir dulu untuk semua keputusan yang akan aku ambil nanti.

Beberapa hari setelah sore itu aku menjadi sedikit pendiam, apa yang seharunya aku lakukan. Aku tidak bisa menunggu selama itu untuk alasan yang jelas-jelas hanya aku yang dapat mengerti sendiri. Aku hanya menghibur diri dengan men-download film secara ilegal dengan teman sekamar dan menontonya dengan proyektor milik kantor, kamar sempit itu kami ubah menjadi sebuah bioskop mini, menonton banyak film sebelum tidur.

Ada malam dimana kami kehabisan film untuk ditonton, lampu kamar sudah dimatikan. Dan aku sudah tidak tahan dengan apa yang berkecamuk didalam hatiku, aku menceritakan semua keluh kesah itu pada teman sekamarku. Dari semua cerita panjang lebar itu dia menyimpulkan “Gini lo fi, Kadang walaupun dia suka dan kamu pun suka, tapi waktunya ngga tepat itu juga namanya ngga jodoh”.

Setidaknya menumpahkan semua resah yang ada didalam dada itu bisa membuat aku sedikit lebih tenang, aku memutuskan untuk pulang pada akhir pekan depan. Ibu juga telah menelpon mengabari bahwasanya Ibu dan Ayah dalam keadaan sakit. Aku juga ingin tau apa pendapat ibu tentang apa yang sedang aku hadapi ini. Ibu juga telah mengenal wanita ini, beberapa bulan yang lalu ketika ada acara keluarga di Padang. Sedari dulu aku memang begitu, semua keluh kesah selalu aku sampaikan pada Ibu, sampai pada pengambilan sebuah keputusan yang bakal berdampak besar nantinya dalam kehidupanku.

Aku ceritakan semuanya pada ibu, jujur aku tak bisa menunggu selama itu dan keyakinan itu dikuatkan oleh Ibu, “kalo memang kamu ngga bisa ya sudah diikhlaskan saja”. Pada akhirnya keputusanku bulat, aku dan dia memang tak pernah terikat dalam suatu ikatan apapun, namun dia tau bagaimana perasaanku padanya. setidaknya dengan mengiyakan menikah denganku cukup meyakinkan aku bahwasanya dia juga suka denganku, hanya saja dengan waktu yang tidak tepat itu dan semua masalah yang tak akan pernah bisa dipaksakan selesai semua ini takkan berjalan semudah itu.

Seminggu yang lalu
“Apakabar Kamu, Kemana saja belum lagi menghubungiku”, jawabnya ketika aku menghubunginya dengan sebuah pesan pendek, karena sebelumnya ketika aku menelponnya dia tak mengangkat telpon dariku karena dia sedang tidak disekitar telpon genggamnya tersebut. Aku menjawab sebisaku, dan akhirnya sepakat kami akan bertemu minggu sore yang mungkin akan jauh lebih sendu daripada sore sebelumnya.

Sore itu temanku mengantarkan aku ke tempat kami berjanji. Aku tidak menjemputnya kerumah, karena hari itu dia sedang ada keperluan diluar sedari pagi. Banyak hal yang kami bicarakan sebelum hal itu aku sampaikan. Termasuk kapan jadwal dia masuk kuliah, atau bagaimana kabarku akhir-akhir ini apakah masih sangat sibuk atau bagaimana. Sore sudah masuk kewaktu Ashar, aku mulai menyampaikan semua yang tak bisa aku lakukan untuknya.

Dengan permohonan maaf diawal, atas semua yang telah aku lakukan, dan dilanjutkan dengan mengatakan aku tidak sanggup menunggu dia dalam rentang waktu selama itu, dengan alasan yang barangkali hanya aku yang mengerti. Sama halnya dengan alasan dia yang tidak siap menikah pada umur yang aku inginkan. Aku berharap dia bisa menerima alasanku sebagaimana aku bisa mengerti dengan semua alasannya.

Bukan aku tidak sungguh-sungguh sehingga meragu untuk menunggu dia dalam waktu selama itu. Dia wanita pertama yang pernah aku ajak untuk menikah. Aku tidak sedang bercanda mengatakan hal semacam itu, jika dia mau dengan semua waktu yang aku bisa. Aku bersedia menghadapi apapun tantangannya kedepan. Tapi berdua dengannya, karena takkan mungkin untuk aku berjuang sendirian.

Hal yang masih membuat aku kagum padanya, dalam umur yang berbeda jauh dibawahku. Dia bisa mengerti dengan semua yang aku ucap. Dia tersenyum manis dan bisa memahami dengan mudah kondisinya, mengerti dengan semua alasan-alasanku yang tidak bisa menunggunya selama itu. “Jadi?, ngga ada yang ditolak dan menolak ya. Kamu bisa terima semua keputusanku dan aku menerima semua keputusanmu, dan hubungan kita seperti biasa, ngga ada yang berubah”.

Aku menyukainya, sebaliknya diapun begitu. Waktu yang tidak tepat menjadi masalah besar dalam hubungan ini, dan kami tidak punya jalan tengah untuk itu. Kami sudah berada dijalan buntu, dan aku berada dijalanku sendiri untuk kembali dan diapun begitu. Dalam perpisahan manis itu kami punya “analogi celana sempit” dalam masalah ini. Sambil bercanda dan tertawa dalam keadaan yang sebenarnya menyedihkan itu. “Kayak celana sempit, kalo ngga muat trus kita paksain buat dipake. Pasti bakalan robek” kataku menyamakan dengan hal yang tak bisa dipaksakan ini “Apalagi kalo kainnya ngga bagus” timpalnya, dia sangat mengerti akan hal itu. Semoga cita-citanya menjadi desainer hebat itu terwujud.

Aku dan dia juga belum tentu punya pondasi yang bagus untuk membangun sebuah hubungan yang kokoh, sejalan dengan kain yang tidak bagus tadi. Akan sangat mudah robek sebuah celana sempit dengan dasar kain yang tidak bagus dan dipaksa memakainya karena tidak muat. Teman sekamarku benar, waktu yang tidak tepat itu yang menjadi masalah besar. Barangkali itu yang menandakan aku dan dia tidak berjodoh. Barangkali juga kami sudah benar-benar menyerahkan semua ini pada sang pemilik hati. Sehingga pada akhirnya keputusan yang menyedihkan ini dapat kami terima dengan lapang dada. “kamu ngga boleh sombong!” katanya dengan mimik wajah yang dibuat seolah sedang marah “aku takut kamu yang sombong” jawabku. Kita akan baik-baik saja lanjutku dalam hati.

Setidaknya aku dapat belajar untuk menerima, ada banyak hal didunia ini yang tidak bisa dipaksakan. Dan berlapang dada merupakan jalan alternatif yang bisa membuat luka-luka tersebut cepat sembuh, dan sepertinya semenjak hari itu, aku harus mulai kembali entah mencari atau menunggu seseorang yang aku sukai dan menyukaiku dalam waktu yang tepat. Artinya satu lagi cerita tentang mimpi-mimpi dan harapan-harapan harus aku kubur dalam-dalam, dan memberinya nisan untuk mengingatkan aku, dia pernah dihatiku, tapi barangkali aku memang belum pantas untuknya. Aku harus lebih lagi dalam memperbaiki diri.

Seminggu Setelahnya
Aku terlalu pagi datang kekantor Polisi untuk membuat surat izin mengemudi itu, sehingga terjebaklah aku didepan sebuah sarapan, pesan singkat yang cukup membuatku sedikit uring-uringan, dan seorang lelaki calon mantu Ibu dulu yang akan dinikahkan dengan uni, namun mereka tak berjodoh, dan sekarang lelaki itu sudah dianggap Ibu menjadi anaknya.

“Anak Mery apa kabar Fi? Sudah berapa umurnya?”. Deg, apa rasanya? Menanyakan anak seseorang yang barangkali dulu pernah berada jauh didalam hati? Sudah seikhlas itukah dia menerima semua keputusan-keputusan salah paham beberapa tahun yang lalu itu?. Ibu dulu menyukainya, Ayah-pun sama. Bahkan tetangga yang merupakan orang terhormat sekabupaten mengakui bahwa lelaki yang sedang dihadapanku ini adalah anak orang hebat, baik dalam kehidupan sosial maupun agamanya.

Oleh karena itulah Ibu sudah menganggapnya sebagai anak, Kalio Lokan yang Ibu masak untuk aku bawa ke proyek sedikitnya juga akan diberikan kepadanya, lewat aku ibu berpesan agar dia datang kerumah dan makan dirumah. Sampai hari ini aku belum lagi melihatnya bersama dengan wanita lain. Ibu bilang dulu pernah liat dia sedang jalan dengan seorang wanita, tapi ketika Ibu bertanya dia selalu mengelak dari pertanyaan tersebut. Semua orang sudah terima dengan tiap-tiap keputusan sensitif itu, begitulah jodoh. Bahkan sesuka apapun semua orang dengan sebuah hubungan. Tapi jika tidak berjodoh, lapang dada-lah yang akhirnya menjadi alternatif.

Sorot matanya masih terlihat sendu, entahkah masih sedih atau memang dia lelah setelah begadang semalaman menjalankan tugas piket malamnya. Tapi dia lelaki yang kuat aku lihat. Lelaki punya cara-caranya tersendiri untuk patah hati. Akupun begitu.

Hari itu benar-benar berantakan, aku harus berpacu dengan waktu. Me-revisi semua kesalahan pada skripsi dan pergi bersama seorang sahabat dekat. Sedih kalau dia harus pindah ke jakarta, wacana yang ia sampaikan beberapa hari lalu. Kami berangkat bersama mengurus skripsi itu. Kami sama-sama terlambat. Akhirnya aku pulang dalam keadaan hujan badai mengendarai sepeda motor sejauh 40 km.


Lagi-lagi, otakku sedang diganggu oleh sesuatu begitu juga hatiku. Mereka tidak mau singkron. Dalam cerita patah hati tadi, ada yang mengusik hatiku. Tentang buku, dan seseorang dari masa lalu. Akan aku ceritakan lain kali.

Seperti langit, terkadang cerah kadang hujan
Source : Dokumentasi Pribadi

1 comment: