Wednesday 19 November 2014

Cerita Merapi #2 Chapter 2

Jam di handphone masih menunjukkan pukul empat pagi, dari tadi bang Ade sudah teriak-teriak bilang kalo mau tidur dirumah aja. Dan semua orang bangun keluar dari tenda dengan mata merah dan disipit-sipitkan ketika melihat cahaya dari senter kepala, sumber cahaya satu-satunya diatas gunung hutan begini.

Dalam hati saya bergumam, meski sudah terbakar semangat akan menuju puncak “ini seriusan jam segini udah mau jalan ke puncak?” beberapa diantara kami saling bertanya, butuh waktu berapa jam dari Pintu Angin ini menuju puncak tertinggi merapi yaitu puncak merpati, bang Ade bilang 4 jam. Kalo begitu udah jam 8 dong kita baru nyampe puncak, ngga bisa liat sunrise dong.

Terakhir yang saya pahami adalah, tidak perlu banyak pertanyaan diatas gunung sana, cukup lakukan saja jika kita ingin menggapai tujuan yang bener-bener jauh diatas puncak sana. Bang Ade juga ngga bakalan bisa ngasih jawaban pasti berapa lama kita dalam perjalanan menuju puncak tersebut, hal semacam ini dikembalikan pada diri masing-masing saja, seberapa cepat langkah kita jika ingin mencapai tujuan tersebut dalam waktu singkat.

100 persen dari kita adalah pemula, bisa dibilang bang Ade lah satu-satunya yang bukan pemula, dan diperlakukan sebagai seorang tour guide oleh kami, jelas saja bang Ade sama sekali ngga bisa menjawab berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk berjalan di bebatuan cadas ini, di cadas ini bukan lagi berjalan namanya tapi bisa dikatakan memanjat, entah berapa derajat kemiringan cadas ini, sukurnya jam 4 pagi ini masih sangat gelap, kita bisa simpan saja bayang-bayang puncak itu didalam hati, dan berjalan dengan melihat beberapa meter saja kedepan.

Saya melihat kearah belakang, tumpukan lampu kota terlihat jelas diatas sini, kota Bukittinggi, Padang Panjang bahkan kota Padang serta cahaya dari kapal nelayan ditengah laut samar terlihat berkedap-kedip, seperti bintang yang lelah dilangit, lalu merebahkan dirinya didasar tanah, atau barangkali ini memang refleksi langit entahlah. Kembali saya fokuskan ke depan, hanya lampu senter yang saya lihat banyak sekali diatas dan dibawah, bergerak sedikit demi sedikit keatas gunung, saya berkeringat dipagi sedingin itu, sesekali kita istirahat sebentar tapi tidak terlalu lama, karena berbahaya lama-lama di tanah cadas ini.

Beberapa puluh menit kemudian beberapa dari kita sudah berada di tugu Abel, sebuah tugu yang dibuat untuk memperingati seorang pemberani bernama Abel yang menghembuskan nafas terakhirnya di tempat tugu itu terletak, begitu cerita yang saya dengar, saya juga kurang tau bagaimana detail kejadian dan kapan peristiwa itu terjadi. Katanya Abel meninggal karena menyelamatkan salah seorang temannya. Cuma saya tidak tau detail ceritanya.

Yang ada waktu itu hanyalah langit yang terlihat begitu cerah, masih belum ada tanda matahari akan muncul, hanya saja jarak pandang dipagi buta itu sudah mulai jauh, saya dan teman-teman yang lain sudah berada di Tugu Abel, sedangkan Mery masih entah dimana, memang kebiasaannya mendaki lelet banget, dan bang Ade sepertinya bersama Mery, namun tak berapa lama mereka sudah berjarak beberapa meter didepan kami, mereka mengambil jalan pintas, mereka tak beristirahat dan langsung jalan kaki, karena kami semua sudah sampai diatas gunung, jadi udah ngga ada lagi tanjakan yang ada hanya jalanan rata berpasir menuju puncak merpati.

Beberapa menit dan beberapa puluh meter kemudian, jarak pandang sudah semakin jauh dan mata sudah bisa membedakan warna sedikit demi sedikit, sepertinya sebentar lagi matahari akan terbit, bang Ade menunjuk sebuah tumpukan bebatuan sambil berkata “itu yang namanya puncak merpati” yang lain pada berhenti, saya melanjutkan perjalanan saya menuju puncak tersebut. Pengalaman pertama saya seumur hidup menginjakkan kaki di puncak tertinggi sebuah gunung.

Ngga ada lagi kata-kata setelah itu, saya hanya melihat sekeliling. Warna langit yang mulai berubah menjadi sedikit jingga, danau singkarak yang terlihat layaknya air didalam ember yang kurang jelas terlihat karena kabut danau yang perlahan-lahan mulai naik pagi itu. Tumpukan awan yang biasa terlihat hanya ketika kita memalingkan wajah kearah langit, tapi di puncak itu kita bisa melihat awan meski dalam keadaan merunduk. Awan yang menumpuk disekeliling gunung.

Tumpukan Awan Di Pagi Hari
Terbayar sudah rasanya, lelah mendaki kemarin yang nyaris dehidrasi, bahkan saya sama sekali ngga ingat bakalan ke Medan disuruh Bos, pasti sekarang bos lagi uring-uringan, kenapa handphone saya ngga aktif dua hari ini. Tapi saya ngga memikirkan lagi semua itu disana, yang ada sekarang saya hanya sedang jatuh cinta, jatuh cinta pada ciptaan tuhan yang lain. Jatuh cinta pada kulit-kulit bumi, jatuh cinta pada awan yang terlihat tapi tak tersentuh, jatuh cinta pada hangatnya cahaya matahari pagi ini, dipuncak gunung, saya bisa rasakan rasa nyaman dan bahagia yang lain. Entahlah apa itu, sepertinya saya benar-benar akan jatuh cinta pada aktifitas semacam ini. Jika selama ini saya hanya liat di TV dan photo, tapi hari itu saya bisa rasakan langsung.


Perlahan ditepi langit yang sepertinya tak berujung jauh ditimur sana, matahari mulai menampakkan diri, tak ada yang pernah paham, kami berdiri disana bertatap langsung dengan matahari pagi karena sedang saling menepati janji masing-masing, janji kemarin sore terbayar sudah, cuaca yang sedari tadi dingin tiba-tiba hangat oleh cahaya matahari dengan kecepatan entah berapa ribu mil perdetik sampai ke permukaan kulit yang sedari tadi dingin. Cahaya hangat itu hanya berkata, semoga kita bagian dari orang-orang yang selalu menepati janji dalam situasi dan kondisi apapun itu.

Cukup lama menikmati warna pagi yang jingga seperti itu, perlahan kami mulai menuruni puncak merpati berjalan memutar, mengelilingi kawah gunung merapi, menikmati bunga abadi yang entah apa yang bunga-bunga itu tunggu diatas gunung setinggi ini, mereka hanya menunggu selamanya. Selama keabadian mereka selagi gunung-gunung itu masih diam.






Kami kembali ke tugu Abel, sambil menikmati pemandangan gunung singgalang diseberang sana, garis pantai pemisah antara daratan dan lautan disebelah barat sana, dan nun jauh disana bahkan gunung pasaman dan gunung talamau tampak begitu serasi dalam jarak pandang sejauh itu.

Cukup lama, kami memutuskan kembali ketenda, mengisi tenaga, dan bersiap untuk turun dan kembali kedunia nyata. Kami sudah sampai lagi diposko bawah sebelum jam 6 sore, kami semua langsung turun kearah padang panjang, mencuci badan disebuah pemandian umum dengan nuansa air panas. Sedikit menikmati kota padang panjang pada malam hari, makan bakso disebuah warung bakso yang lumayan enak di tengah kota padang panjang.

Lalu sisanya, kami hanya akan menikmati perjalanan malam dari kota Padang Panjang menuju kota Padang, dijalan bang Ade bercerita kepada saya, awalnya saya bertanya. Apakah kami mengecewakan dalam pendakian kali ini, karena banyak hal tadi, termasuk ngga ada pengalaman sama sekali.

Yang dapat saya simpulkan dari apa yang dikatakan bang Ade hanyalah, KEREN!!

Kata bang Ade jarang-jarang banget, diatas gunung merapi punya cuaca secerah hari ini, ketika kami sampai diatas, bahkan hujanpun sama sekali ngga mengganggu perjalanan kami, tidak menyulitkan selama perjalanan. Yang ada hanya kami saling mengerti karakter kami masing-masing, berbagi cerita dan tawa hanya itu.

Lalu saya simpulkan, senyawa kami senyawa pelangi, datang setelah hujan, saling melengkapi antara satu dan yang lain, dengan niat yang sama, dengan rasa yang sama. Kami kelompok sempurna yang saling melengkapi tak ada tuding menuding siapa yang benar dan yang salah. Ego hanya tertinggal jauh disana, dia akar-akar kaki gunung, sama sekali tidak kami bawa keatas gunung sana. Senyawa pelangi ini yang membuat tuhan mengizinkan setiap keinginan yang ada dihati kami yang barangkali sama. Molekul-molekul kami mungkin sangat jauh berbeda, tapi ketika kami bersenyawa. Entahlah, mungkin hanya kami dan pencipta kami yang tahu, seberapa hebatnya senyawa kami diciptakan oleh sang maha pencipta. Atau barangkali ini hanya keberuntungan kami, ketika sang maha pencipta ingin kami melihat betapa Maha Besarnya sang Maha Pencipta!

Akhirnya saya sampai dikamar, saya membuka pintu. Melihat firman yang sedang tiduran didalam kamar. Saya meletakkan ransel lalu merebahkan diri diatas kasur, tanpa sadar hari sudah pagi. Saya telpon kepala keuangan apakah tiket untuk saya ke Medan sudah ada, lalu dia jawab. Kata bos ngga usah ke Medan! Ternyata Bos saya ngambek karena saya sudah dua hari ngga ada kabar! Oke, terima kasih pak. Saya bisa istirahat hari ini.


1 comment: