Teng
teng teng, tiga kali lonceng berbunyi di siang panas begini sudah pasti itu
tandanya akan pulang, proses belajar mengajar yang tadi tenang tiba-tiba
menjadi berisik, ada yang mengemas buku-buku bahkan sebelum guru didepan
memberi aba-aba apakah sudah boleh berkemas dan boleh pulang atau tidak.
Setidaknya
itulah momen paling menyenangkan selama 12 tahun belajar di sekolahan. Jam
pulang sekolah, yang padahal sebenarnya ketika kita sudah sampai dirumah,
malahan bingung kegiatan apalagi yang bakalan dilakukan. Dan rindu lagi balik
ke sekolahan. Sifat manusia seperti ini yang saya ngga ngerti, sama halnya
dengan ngga ngerti dengan kemauan diri sendiri itu apa.
Malam
ketika saya menulis ini, salah seorang teman bertanya. “Gimana ya rasanya? Bangun
tidur, dilingkungan kantor, lalu ketika sore semua orang pulang dari kantor, kita
masih duduk di kursi kantor. dan ketika malam, balik ke kamar dibelakang kantor
yang notabene masih satu bangunan dengan kantor”.
Well,
memang itulah yang terjadi dengan saya saat sekarang ini, sudah hampir dua
tahun saya tinggal di kantor cabang Sumatera Barat ini. Jadi meski saya kerja
dikantor, jangan tanyakan ke saya gimana rasanya datang terlambat atau terjebak
macet, hujan atau halangan menuju kantor lainnya. Sama sekali saya ngga pernah rasakan
hal-hal semacam itu.
Sebenernya
ini sudah agak lama mengganggu saya, ketika sore datang. Pak De mulai
menyalakan lampu setiap sudut ruangan kantor. Satu persatu rekan kerja mulai
pamitan, dan entah kenapa mereka semua pamitan kesaya. Memang saya seperti
penghuni tetap kantor ini, tapi terkadang rekan-rekan dari proyek juga sering
tidur di kantor ini, ada banyak kamar yang minta ditiduri di kantor ini.
Bukan
terganggu oleh mereka yang pamitan, tapi saya juga pengen ngerasain yang
namanya pamitan “pulang”, rasanya berbulan-bulan saya ngga bilang kata-kata itu
ke orang-orang. Makanya ada waktu-waktu menyenangkan buat saya dalam 2 kali
seminggu atau sekali beberapa bulan. Entah kenapa waktu paling menyenangkan itu
adalah waktu ketika pulang. Ada dua waktu pulang paling menyenangkan dihidup
saya beberapa tahun belakangan ini.
Pertama
adalah pulang kuliah, ketika perlahan matahari mulai terlihat terbenam di
samudera hindia terlihat jelas dari gedung kampus. Ketika mata kuliah habis,
semua berjalan keluar diiringi becandaan bersama teman-teman kuliah yang lain
menuju parkiran motor, matahari makin tenggelam, langit tadi yang tampak begitu
biru berubah agak sedikit kelam, jika tatapan arah ke barat, langit jingga dan
awan berarak begitu sempurna terlukis di kanvas langit, berikut beberapa
burung-burung yang juga “pulang” dikala petang. Dan entah kenapa saya begitu
menikmati perjalanan beberapa menit dari kampus menuju kantor itu yang mungkin
hanya berjarak tak sampai 5 KM. Tapi rasa menyenangkan didalam hati itu ada,
walau hanya dua kali dalam seminggu. Yaitu pada hari sabtu dan hari minggu.
Kedua
adalah go home yang benar-benar home, ada yang pernah bilang “you can buy a House, but you can’t buy a
Home” yaaak, pulang kerumah yang benar-benar rumah. Apapun kesulitanya,
berapa lama pun perjalanannya, bahkan
jika niatnya memang pulang. Saya biasanya pulang dengan motor kira-kira 4 – 5 jam
perjalanan dari kota Padang, jadi yang namanya hujan bukan lagi halangan, tapi
sahabat. Saya merasa hujan bentuk euforia
langit mengapresiasi perjalanan saya, perasaan saya bilang “Hey boy, Godbless you” langit bilang begitu. Pamitan untuk pulang
seperti ini menyenangkan. Perjalanan saya pastikan akan menyenangkan. Misi
terakhirnya adalah. Saya akan membuat status “sweetest palace” di blackberry
messenger saya. Ketika saya sudah sampai dirumah yang benar-benar rumah.
Lalu
kenapa judul postingan saya kali ini “dekat”, saya berpikir ini selalu terjadi
dikehidupan saya mulai dari saya taman kanak-kanak sampai sudah bekerja
sekarang ini. Ketika sekolah TK, pulang itu menyenangkan memang. Dari mobil
angkutan khusus TK saya itu dulu, entah kenapa saya menjadi orang pertama yang
diantar entahkah memang rumah saya sangat dekat dari sekolahan atau entah
kenapa. Jadi rasanya pulangnya aneh, ngga kayak pulang sekolah biasa. Saya ngga
dapatkan EUFORIA pulangnya.
Ketika
TK itu, kira-kira saya berumur 5 atau 6 tahun. Ayah udah beli tanah dan bangun
rumah sendiri, jadi rumah ayah sekarang makin jauh menjadi 1,5 km dari pusat
kota kabupaten saya. Saya lulus dari TK dengan nilai matematika yang
membanggakan, sehingga ibu selalu menyebut itu sampai beberapa tahun kedepan,
dan saya ngga tau kenapa nilai matematika saya waktu TK itu bagus, sampai akhirnya
saya sadari. SAYA NGGA SUKA MATEMATIKA.
Dibelakang
rumah Ayah yang baru ada sebuah SD, tapi saya ngga mau sekolah disitu. Saya mau
sekolah di simpang ampek saja, deket dari pusat kota, karena sebelumnya,
kakak-kakak saya juga sekolah ditempat yang sama, katanya dulu Ibu juga sekolah
disitu. Akhirnya saya sekolah disimpang Ampek 1,5 KM dari rumah saya, dan
ternyata dari semua siswa angkatan saya. Sayalah satu satunya orang yang
mengambil jalur jalan yang berbeda ketika pulang, ketika yang lain pulang ke arah
pusat kota yang lebih rame, saya pulang berjalan sendirian sejauh 1,5 KM
berbalik arah dengan jalan yang diambil teman-teman saya, kedua kalinya, saya
merasa ini cara pulang yang salah. 6 tahun saya merasakan hal itu. Dan saya
ngga pernah dapet yang namanya EUFORIA pulang.
Lulus
dari SD, saya masuk kesalah satu MTsN yang sama dengan kakak-kakak saya
bersekolah sebelumnya, dan gerbang sekolah tersebut nyaris PERSIS didepan rumah
saya.Selama 3 tahun juga ketika saya berjalan keluar dari sekolah ketika pulang
hanya beberapa menit saya sampai rumah, berbeda dengan teman-teman saya yang
pulang berkelompok dan bergerombol kerumah mereka masing-masing, dan masih saya
ngga dapetin EUFORIA pulang.
Sekolah
tingkat atas, saya sekolah di Padang, 200 Km dari rumah saya. Dan perjalanan
sejauh itu ngga mungkin banget saya harus bolak balik setiap hari, dan saya
ngekos disalah satu rumah yang berjarak hanya 50 M dari gerbang belakang
sekolah! Bahkan saya bisa bangun jam 7.00 pagi tanpa harus telat.Lumayan jauh
kalo saya berangkat sekolahnya ngesot. Dan yang sedikit membuat berbeda kali
ini hanyalah, 20 orang teman kelas saya selalu ngumpul di kamar saya yang
sempit ketika jam pulang sekolah. Namun tetap saya belum bisa rasakan EUFORIA
pulang.
Tiga
tahun kemudian, hal sama masih terjadi saya bekerja dan tinggal dikantor, saya
hanya dijarak oleh pintu. Sangaaat dekat! Jangankan euforia pulang, bahkan
mengeja kata pulang pun sudah berbulan-bulan tak pernah saya lakukan! Hal ini
yang membuat saya berpikir banyak sekali hal-hal yang dekat disekeliling saya.
Apa memang saya takdirnya memang berdekatan? Berdekatan dengan sekolah,
berdekatan dengan kantor, berdekatan dengan orang yang saya suka(?) ah mungkin
yang terakhir tidak.
Lalu
saya berpikir, terlalu banyak hal-hal dekat yang terjadi dalam hidup saya.
Terasa pembagian yang jauh dan yang dekat ngga adil dihidup saya. Dan yang saya
pahami sedikit, ya.. semuanya memang terasa timpang jika kita melihat dari satu
perspektif. jangankan itu melihat dengan sebelah mata saja risalah jarak jadi
terasa berubah.
Dan
pada akhirnya saya pahami, dulu saya juga pernah bilang. Ditempat yang kita
lihatpaling timpang sekalipun, kadang disanalah tuhan menyelipkan keadilan. Toh
kita ngga pernah benar-benar tau.
Dan
pada dasarnya semua hal yang ada ini diciptakan dalam keadaan seimbang, semua
hal memang terasa DEKAT jika kita menutup mata untuk hal-hal yang jauh,
sebaliknya semua terasa jauh, jika kita menutup mata untuk hal-hal yang DEKAT.
Mungkin
nanti akan saya tulis tentang “jauh”.
3X Gold Series | TITaniumArt® LLC
ReplyDelete3X Gold Series is a premium 4×4 mens titanium wedding rings video game engine citizen titanium dive watch and titanium dive knife the titanium dental ultimate game engine for video game collectors. It is compatible with titanium aftershokz PC, Mac,