Monday 21 July 2014

Sepeda - Chapter I

# Tentang Ayah, Ibu,  dan Cinta

Mungkin ada beberapa dari kita yang bisa mengingat sebuah rekaman tentang Ayah dan sepeda, saya rasa semua manusia punya kenangan itu. Buat mereka yang punya sedikit keberuntungan, ketika diberi kepercayaan untuk menjalankan sebuah skenario hidup masih punya kedua orang tua sampai saat ini. Alhamdulillah sampai hari ini Ayah dan Ibu saya masih sehat dan selalu menelpon disetiap pagi mengingatkan hari ini sudah dimulai “persiapkan diri kamu nak”. Walau pada akhirnya di ujung pembicaraan saya tertidur lagi karena mengantuk keseringan begadang, terkadang hanya untuk hal yang sama sekali ngga penting.

Beberapa bulan lalu, keponakan pertama saya yang masih berumur 5 tahun. Yang ngga pernah suka jika harus mengobrol dengan saya jika ditelpon. Ketika itu saya sedang berada dirumah menginap semalam, udah beberapa minggu ngga pulang dan kebetulan saya disuruh standby di proyek sama bos, kesempatan banget buat bisa pulang dan tidur dirumah, karena proyek lumayan deket dari rumah saya.

Saya menghela nafas panjang sambil terus berjalan malam itu dirumah, sepi banget rumah ini sekarang, hanya tinggal Ayah dan Ibu. Abang saya yang paling gede udah punya rumah sendiri di kampung istrinya. Uni juga ikut suaminya ke Jakarta, Saya sudah 7 tahun ngga dirumah, palingan dalam setahun saya hanya sebulan paling lama di rumah, sedangkan Ika adik perempuan saya satu-satunya memilih buat pindah sekolah ke padang.

Ayah masih duduk di meja kasir meski warung sudah ditutup, Ibu tiduran didepan televisi. Ruko dua pintu yang dibuat Ayah untuk beliau berdagang membuka warung di kedua pintunya, sekarang satu pintunya sudah tergusur oleh Uni yang tiba-tiba pengen buka Toko Baju di situ, jadi sekarang Ruko yang juga dijadikan tempat tinggal ini, terasa rada sempit. Saya baru saja memasukkan motor kedalam rumah, yang akhirnya terasa makin mempersempit ruangan.

Beberapa tahun terakhir memang seperti itu ritualnya, saya akan mulai menceritakan pada Ayah dan Ibu. Sudah sejauh apa saya berjalan, apa saja yang telah saya liat, apa saja yang telah saya pelajari diluar sana selama nyaris tujuh tahun saya sudah tidak begitu ketat dalam pengawasan beliau berdua. Saya jujur menyebut semuanya, kadang ibu marah dengan keputusan yang saya buat, tapi saya bisa menenangkan Ibu dengan menjelaskan langkah apa saja yang telah saya perbuat.

Sampai pada akhirnya, Saya yang bertanya pada Ayah dan Ibu. Kejadian apa saja yang telah terjadi di kampung, siapa saja penduduk-penduduk baru yang datang di kampung yang datang maupun terlahir, dan siapa saja yang lebih dulu meninggalkan kami. Kadang warna dirumah muram ketika hanya ada Ayah Ibu dan Saya dirumah, bercerita tentang mereka-mereka yang telah meninggalkan kami.

Lalu diujung cerita itu pasti kami, selama lima tahun ini bercerita tentang bagaimana perkembangan cucu pertama Ayah dan Ibu, Keponakan pertama saya. Perkembangan apa saja yang telah dialaminya, apa saja kejadian dan kata-kata lucu apa saja yang melompat dari mulutnya begitu saja. Sampai tengah malam itu akan terus terjadi setiap saya pulang, dari kecil saya memang ngga punya kamar, saya selalu tidur didepan TV, walau Ayah dan Ibu tidur di kamar dan saya tidur didepan TV, Obrolan itu akan terus berlanjut sampai kantuk merundung kami. Dan terlelap dalam kata-kata yang belum sampai dan langsung terbawa mimpi.

Aroma kopi buatan Ibu selalu sama disetiap paginya, panggilan Ibu membangunkan saya untuk Shalat subuh selalu begitu bertahun-tahun, Ibu selalu beri dispensasi untuk tidur lagi kalo udah selesai Shalat Shubuhnya, dan setiap paginya selalu begitu, saya Shalat dan berniat untuk tidur lagi, tapi obrolan Ayah dan Ibu selalu asik untuk ikut nimbrung didalamnya, obrolan yang dimulai jauh tadi ketika saya masih bermimpi.

Entahlah, Ayah Ibu ngga pernah habis bahan untuk mengobrol satu sama lain bertahun-tahun, Ayah yang asik dengan secangkir kopi di singgasananya pagi itu, dan Ibu yang sibuk dengan semua persiapan sarapan dan bekal yang akan dibawa Ayah nanti, bekal kemanapun Ayah akan pergi, entahkah bertukang, kekebun atau kemanapun Ayah mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Karena pagi seperti ini selalu terjadi dan saya merekamnya dengan begitu jelas setiap pagi, dimulai ketika saya sudah pandai berbicara dan memanggil lelaki kurus berkumis itu dengan sebutan Ayah, dan yang tadi menyiapkan secangkir kopi dan masih sibuk di dapur itu dengan sebutan Ibu.

Cinta mungkin, yang membuat pagi-pagi yang saya rekam itu terasa manis. Sebenarnya saya ingin menulis kisah tentang sepeda, tapi entah kenapa untuk menulis kisah itu hati saya berkata saya harus tulis tentang Ayah, Ibu, Saya, segelas kopi dan kebul asap dapur di pagi-pagi ketika saya bangun dirumah. Saya ingin pastikan, cinta yang membuat mereka untuk tetap bisa, berbagi cerita tentang manis dan pahit kehidupan yang telah mereka telan mentah-mentah, mungkin untuk mereka, atau untuk kami anak-anaknya. Saya sudah sangat sering menulis, “Ayah yang mengangkat saya tinggi-tinggi, sehingga saya bisa menggapai semua yang ada di angan saya”. Ya, saya sangat yakin itu cinta.


Dan tentang sepeda, ada di cerita-cerita malam itu.


14 comments:

  1. Gue jadi kangen rumah beserta semua penghuninya,
    udah lama juga ga pulang

    ingin segera pulang, apa daya menunggu cuti bergiliran -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. yak,

      ada cinta yang selalu memanggil untuk pulang :)

      Delete
  2. paling suka sama bagian endingnya. Tanpa cinta semuanya akan terasa hambar, dan gak akan berbuah manis seperti perjalanan lo sampai sekarang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yaaa

      cinta yang seperti apapun itu Bay,
      terlalu banyak cinta dalam kehidupan ini

      Delete
  3. Jadi, tentang sepedanya belum ada ya? Hmm..

    Ya, cinta membuat segalanya manis. Meski perjalanan terasa pahit. Ceritanya buat kangen mudik ke Solo:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ada loh itu di Chapter dua, udah di posting :D

      kalo kangen, mudik lagi aja mba, heheh

      Delete
  4. ahh so sweet, membacanya saja sudah menggiringku untuk ikut menikmati keromantikan Ayah dan Ibumu dengan rutinitas masing masing yang dilakukantanpa bosan. Semoga semua keluarga diberi kesehatan dan kebahagiaan, salam untuk Ayah Ibu di rumaaaah :D salam kenal jugaaaa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. perasaan kita udah lama kenal deh mey, di dunia per Blog-an
      dari dulu saling kunjung, cuma beberapa bulan terakhir saya jarang aktif, mungkin kamu terlalu banyak kenal dengan blogger lain, makanya kenalan lama yang jarang muncul jadi terlupakan. hehehe

      ntar salamnya nya di sampaikan deh, :D

      makasi sudah berkunjung!
      :)

      Delete
  5. kangeeenn kampung halamaaann :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini kok pada mewek mewek mau pulang kampung semua disini yak?

      Delete
  6. Wiuuh.... ini nyeritain ttg Ayah sama Ibu yah...
    Sama bro sy juga anak yang jauh dari kedua org tua..., kehidupan seperti itu akan slalu berubah, sudah saatnya kita hidup sendiri dan kenangan hidup dengan org tua..akan slalu mnjadi knangan yg paling indah..

    #eaaaaa hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya bro,

      anak mana sih yang bisa ngelupain hal-hal semacam itu?
      malin kundang mungkin iya

      Delete
  7. Agak gimana gitu bacanya :')
    Gini banget ya rasanya kalo udah jadi anak yang udah dewasa, ninggalin kampung halaman, ninggalin orang tua dirumah, untuk merantau ke negeri orang. Ibaratnya yah gitu :)

    Iya, awalnya aku kira mau bahas sepeda, tapi kok gak ada sepeda-sepedanya -_-
    but tak apa, justru tulisan ini bagus banget :D
    Sukses ye bang, semoga orang tuanya selalu sehat ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sepedanya udah ada di chapter 2 mas :D

      iya mas, dulu dirumah berenam, seenggaknya sampai nyari 16 tahun,
      nah sekarang sepi, tinggal ibu dan ayaj aja bedua.. :')

      Delete