Monday 4 August 2014

Sepeda - Chapter II

#Ayah, Sepeda dan Teman Masa Kecil

Tentang cerita-cerita malam itu, pada suatu malam ada sebuah cerita tentang Ayah yang menjual tanah sawit yang sudah tidak begitu terasa lagi hasilnya, Ayah berhasil menjual kebun itu dengan nominal yang cukup besar. Dari itulah Uni bisa membuka Toko Baju dirumah, Abang saya yang gede bisa melunasi hutangnya di Bank yang dulu dipakai untuk membangun rumah, dan tentu melunasi hutang Ayah di Bank dengan nominal yang juga lumayan gede. Alhamdulillah hari ini Ayah sudah tidak punya masalah hutang piutang lagi dengan Bank. Akhir-akhir ini perekonomian rumah, Ayah khususnya memang rada bermasalah, makanya ketika Ayah mendapat rezeki yang lumayan. Ayah bercerita dia datang ke rumah cucu pertamanya dan memberi sebuah surprise.

Mungkin, harga 500 ribu untuk sebuah sepeda, untuk anak yang masih berumur 5 tahun, bagi orang lain dianggap murah, tapi tidak untuk Ayah ataupun saya. Tapi rasanya itu hadiah yang pantas untuk cucu pertamanya itu. Ketika Ayah menceritakan hal itu, keponakan saya yang bernama Iky girang minta ampun, Ayah mengajak Iky kesebuah toko sepeda, dan Iky disuruh memilih. Iky memilih sepeda yang sama sekali tidak sesuai dengan usianya. Tapi lebih mendingan dibanding selera Ayah yang ingin membelikan sepeda dengan keranjang cantik didepannya. Iky dengan senengnya langsung make tuh sepeda dari toko kerumahnya yang cuma berjarak beberapa ratus meter saja. Sampai dirumah, Iky meninggalkan sepeda barunya dipinggir jalan lalu berlari kerumah langsung kepelukan mamanya, muka Iky memerah, dia malu punya sepeda baru. Saya bisa tau raut wajah Ayah melihat cucu nya yang bertingkah seperti itu. Mungkin itu cinta.

Tidak lama, baru saya teringat. Sudah banyak banget anak-anak Mtsn didepan rumah, saya juga alumni Mtsn itu. Mereka semua memakai sepeda datang kesekolah, berbeda dengan angkatan saya yang lebih dari tujuh tahun yang lalu, banyak banget anak-anak yang masih setingkatan SMP itu bawa kendaraan bermotor ke sekolah.

Saya jadi ingat dengan perkataan mas Gesit beberapa waktu lalu, “di Pasaman Barat ini baru Booming yah orang-orang pake fixie, di Jakarta malah sekarang udah ngga ada lagi” saya masih begitu ingat dengan jawaban saya waktu itu, jawaban yang sama ketika Luthfi menyatakan sebuah pernyataan kepada saya, dulu Luthfi bilang “anak SMP disana sepedanya keren-keren yah?” saya masih ingat tahun lalu ketika saya pulang, banyak banget polisi digerbang SMP atau sederajat, menangkap dan menilang langsung anak-anak SMP yang bawa motor kesekolah.

Ternyata itu memang menjadi Perda baru di kampung saya, yang boleh kendaraan bermotor kesekolah hanya dari SMA keatas, yang lain bakalan ditilang dan hanya orang tua yang dapat mengurus perkaranya kekantor polisi, kalo ngga diurus ya motornya bakalan di kantor polisi terus.

Tentang cerita Ayah menceritakan sepeda Iky, dan semua orang yang rame-rame naik sepeda kesekolah kayak di Jepang. Membuat saya membongkar kembali lemari-lemari file diotak saya. Masih ingatkan? Betapa senangnya ketika orang tua janji bakalan beliin sepeda jika kita dapat ranking memuaskan disekolah? Masih ingat tidak? Tentang kita 2 roda sepeda, dan 2 roda bantu, apakah masih ingat? Lutut dan sikut yang terluka, hanya untuk bisa menyeimbangkan badan dan pandai bersepeda dengan hanya dua ban saja?. Saya rasa semua orang punya cerita spesial tentang hal ini.

Terlintas diotak saya tentang tulisan ini ketika saya sedang di Yogjakarta kemarin. Saya mencatatnya dinote smartphone, lalu baru sekarang bisa ditulis. Entah kenapa ini bisa terlintas begitu saja di otak saya.

Waktu itu saya masih SD, entah kelas 3 atau 4. Dulu  Ayah kekota Padang itu rasanya jauh banget. Ya bisa dibayangkan, ada orang dari kampung yang pergi ke kota, untuk membeli alat-alat untuk membuat perabot, semacam kuzen, pintu, jendela, meja, kursi, lemari dan lain-lain. Ketika Ayah akan berangkat subuh-subuh, saya masih mewanti agar Ayah jangan lupa membelikan saya sebuah sepeda seperti kesepakatan saya dan Ayah sebelumnya, saya udah ngga sabar buat main sama teman-teman lain yang udah pada punya sepeda semua.

Kota Padang memang ngga terlalu jauh dari kampung, tapi ketika saya masih kecil dulu, ketika diajak kekota Padang itu rasanya seneng banget, dan sekarang hampir 6 tahun lebih saya menetap dikota Padang dan rasanya biasa saja hari ini.

Saya tahu, ayah bakalan ngambil mobil jurusan yang lewat depan rumah saya dari Padang. Mulai dari jam 6 sore tadi saya sudah duduk dipinggir jalan, menunggu dengar suara angin dan dentuman musik dari mobil bus angkutan umum dari Padang itu. Kira-kira 300 meter dari rumah saya ada tikungan sehingga terkadang bus sebesar itu biasanya kedengeran suara desiran anginnya terlebih dahulu baru terlihat mobilnya datang.

Di mesjid tempat saya mengaji, Siis sudah mengumandangkan adzan magrib, Ibu sudah memanggil dari dalam rumah untuk segera masuk dan ngga baik magrib-magrib keluyuran dipinggir jalan. Tapi biasanya Bus dari padang itu jam 6 sudah lewat didepan rumah dan kenapa hari ini belum balik, dan ngga ada kabar dari Ayah sama sekali, handphone dijaman itu memang kebutuhan tersier. Ayah memang ngga punya, saya ingat hari itu Abang saya yang gede sama Uni juga sama dengan saya lagi menunggu Ayah pulang.

Dengan langkah gontai saya terpaksa jalan kerumah dengan berat hati dari pada nanti dimarahin Ibu. Beberapa langkah kemudian, ada bunyi desiran angin yang kencang, tiba-tiba Uni teriak “Ayah!!” sambil tersenyum lalu berlari lagi kepinggir jalan raya dan melihat arah tikungan 300 meter dari rumah, Saya juga ikut-ikutan dibelakang uni lari begitu juga kakak, beberapa saat kemudian yang terlihat adalah sebuah truk besar pengangkut pasir yang bunyinya sama dengan Bus yang biasa dari Padang itu. Saya kecewa, kakak kecewa dan Uni juga kecewa. Mereka berdua balik kedalam rumah, saya masih menunggu dan melihat, ternyata ada Bus dengan tulisan “MANDALA” didepan bagian atasnya dan “FANTASI” dibagian bawahnya tepat dibelakang truk pengangkut pasir tadi. Saya teriak sama dengan teriakan Uni tadi “AYAH!!” lebih histeris lalu Uni dan Kakak lari lagi kepinggir jalan raya.

Bus angkutan umum itu benar-benar berhenti tepat di depan rumah, dari balik mobil ada sepasang kaki yang turun memakai sendal Indian. Entahlah, orang dulu suka banget pake sendal itu. Celana bahan seperti itu siapa lagi kalau bukan ayah, kemeja polos lengan panjang yang dilipat sampai kesikut. Kebiasaan ayah satu hal, ya jarang banget yang namanya bawa oleh-oleh. Selama ini jika ke padang hanya beberapa ikat bengkuang yang dibawa kerumah. Ya seperti itulah hari-hari yang indah berlalu dirumah.

Yang saya tunggu tidak itu, “sepeda” yang ada di otak saya hanya sepeda. Tiba-tiba kenek bus tersebut manjat keatas bagian Bus yang banyak banget barang-barang menumpuk disana, lalu kenek itu mengangkat sebuah sepeda baru berwarna hijau tidak begitu besar lengkap dengan roda bantu yang ada dikiri dan kanannya. Saya seneng banget hari itu, beberapa belas tahun setelah hari itu sekarang anak kecil yang berdiri menunggu sepeda itu merasa menyesal, kenapa perhatiannya hanya tertuju pada sepeda barunya? Harusnya dia lihat paras Ayahnya yang lelah dalam perjalanan. Tetap memaksa tersenyum meski perjalanan itu panjang.

Ya, meski saya belum punya anak. Hari ini saya bisa rasakan, kasih sayang saya pada keponakan aja rasanya sangat-sangat sayang, apalagi anak sendiri. Pasti semua orang tua punya kepuasan bathin tersendiri bisa membuat anaknya senang. “Terimakasih Ayah”. Hal yang tidak sempat anak kecil itu sampaikan hari itu.
 
Butut, Tapi penuh dengan sejarah
Keesokan harinya, saya hanya tidak sabar menunggu jam pulang sekolah. Tanpa menunggu teman yang lain seperti biasa jalan kaki pulang sekolah, saya ngibrit duluan kerumah. Sampai dirumah saya menaruh tas di rak yang telah dibagi ayah untuk kami anaknya masing-masing. Saya membuka baju putih tanpa mengganti celana dan menggantungnya. Saya lari kebelakang langsung menarik sepeda itu dari dapur kedepan. Ibu yang sedang sibuk didapur melirik, lalu berteriak dari dapur “Piii, maen sepedanya nanti, makan dulu!” anak kecil memang memang selalu susah untuk disuruh makan, “Iya bu nanti” saya menyahut, “Makan dulu atau nanti Ibu jual lagi sepedanya” Ibu mengancam, “sebentar aja kok Bu, Cuma muter-muter SD belakang rumah aja” saya merengek. Dan akhirnya saya kalah dalam perdebatan itu, karena saya ngga mau sepedanya di jual.

Saya tidak menemukan temen-temen yang lain yang biasanya sudah pada ngumpul di SD belakang sekolah, cukup memalukan memang saya masih belum bisa mengendarai sepeda jika tanpa roda bantu, sedangkan teman-teman saya yang lain sudah bisa menyeimbangkan badannya dan sudah bisa balapan tanpa harus memakai roda bantu.

“Napi, sepeda baru ya?” tiba-tiba ada yang menyapa saya, seorang anak kecil ingusan yang sedang berdiri dipintu rumahnya. “Topan?” Saya menyebut namanya, Topan anak seorang guru Mtsn yang berada didepan rumah saya, dia tinggal dengan keluarganya dirumah dinas SD yang ada dibelakang rumah saya. Topan adalah seorang teman masa kecil saya yang sangat akrab.

Lalu tiba-tiba Topan berlari masuk kedalam rumahnya, mengeluarkan sebuah sepeda yang sama modelnya dengan yang saya punya, besarnya pun sama. Yang membedakan sepeda Topan sudah tidak punya roda bantu. Berminggu-minggu saya bermain sepeda dengan Topan. Bahkan Topan bisa menyeimbangkan badannya dengan sepeda yang jauh lebih gede punya Kakak saya. Ini membuat saya iri dengan Topan. Kenapa dia begitu hebat mengendarai sepeda.

Sampai disuatu hari saya balapan dengan Topan, masih di halaman SD belakang rumah saya. Saking kencengnya, saya lupa kalau didepan rumah Bu Anna guru SD tersebut banyak sekali batu yang gede-gede, dan roda bantu sepeda saya bengkok keatas, dan sudah ngga menyentuh tanah lagi, Topan Cuma ngeliatin, lalu Topan menyuruh saya buat membuka saja kedua roda bantu itu, sudah saatnya saya ngga perlu lagi menggunakan jasa kedua ban itu, begitu katanya.

Saya mengikuti perkataan Topan, kami berdua jalan kaki keluar dari kompleks SD, nyari sendiri kunci-kunci dengan meminjam ke tetangga, dan mencoba mempretelinya sendiri. Akhirnya kami berdua berhasil membukanya, dan memasang kembali sepeda tersebut, hal yang luar biasa untuk dilakukan dua orang anak kecil.

Saya mengantarkan roda bantu yang malang itu kerumah, Ibu hanya heran. Kenapa roda bantunya saya buka, apa saya sudah bisa tanpa roda bantu. Saya dan Topan kembali ke SD, dengan menggiring sepeda itu, karena jika langsung mengendarainya kaki saya masih belum sampai ketanah jika saya duduk di atas jok nya.

Topan mengajari saya beberapa trik agar bisa mengendarai sepeda tanpa roda bantu, saya bawa sepeda itu kedepan teras rumah Bu Nini yang beberapa tahun kemudian menjadi guru Fisika saya, dan Topan menjelaskan tentang keseimbangan, karena Teras itu agak tinggi saya bisa langsung duduk diatas sepeda dan bersiap mengayuh. Beberapa saat kemudian Topan memberi aba-aba dan....

Saya tidak percaya, Topan orang pertama yang melihat saya mengendarai sepeda tanpa menggunakan roda bantu, saya bisa menyeimbangkan diri, angin begitu lembut mengusap pipi dan rambut saya, begitu bersemangat saya mengayuh sepeda tersebut sampai kencang, beberapa saat kemudian saya sampai lagi didepan rumah Bu Anna yang banyak batu gede tadi, saya kehilangan keseimbangan dan Braaakk!!!! Sikut dan lutut saya terluka oleh batu-batu didepan rumah Bu Anna, Topan yang sedari tadi berdiri mematung didepan rumah Bu Nini langsung lari ketempat saya terjatuh, sakit banget rasanya saya mau nangis. Darah mulai mengalir dan sesampainya Topan disana entah kenapa kami berdua saling tertawa, Topan mengangkat sepeda saya dan menggiringnya kepelataran SD, saya pun dengan menahan sakit mengikutinya kebelakang.

Entah apa yang tadi membuat kami tertawa, di pelataran SD sekarang Topan hanya sedang memperlihatkan bekas luka yang dia dapat, selama berlatih sepeda. Saya sama sekali tidak mendapat pelajaran apa-apa hari itu, yang saya tau saya sudah bisa mengendarai sepeda. Dan Topan terselip dalam cerita itu, hal yang ngga bakalan pernah bisa saya lupakan.

Berminggu-minggu kemudian, sudah tak terhitung lagi bekas luka yang saya dapatkan, tapi setiap hari hanya semakin memantapkan saya mengendarai sepeda, puluhan kilo sudah saya lewati bersama sepeda tersebut. Entah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Suatu hari ketika saya lewat didekat rumah Topan, sudah tidak ada lagi dia disana, rumah itu begitu sepi tidak ada tanda-tanda ada orang didalamnya.

Saya pulang kerumah, dan mencari Ibu kedapur. “Bu, Pak Will dan keluarganya kemana?” saya bertanya pada Ibu, rumah saya dan Topan hanya berjarak beberapa meter saja, dapur saya dan dapurnya berdekatan. Tapi saya tidak tau kalau Topan akan pergi. “Pak Will pindah tugas pi kekampungnya, sekarang mereka sekeluarga sudah pindah, dan mungkin ngga balik lagi” lalu selanjutnya saya diam, ada yang aneh dengan perasaan saya waktu itu, Kosong.

Cerita ini saya apresiasi untuk Topan, saya yakin semua orang punya cerita seperti ini dalam kehidupannya. Hari pertama punya sepeda, teman bersepeda, dan teman masa kecil yang pergi tanpa pamit langsung hilang. Namun sampai sekarang masih ada di hati. Dimanapun Topan saya merindukannya, ketawanya, cara bicaranya yang dulu, masih saya ingat dengan sangat jelas. Sahabat yang mengajarkan saya tentang sepeda.

Dimanapun dia hari ini, walau teknologi sudah canggih sekalipun saya masih belum bisa menemukan keberadaannya dimana sekarang. Tapi jika Topan baca cerita ini, semoga dia bisa tau. Dahulu di kampung bernama katimaha, dia pernah tinggal disana dan punya seorang sahabat bernama NAPI jika dia tidak tau tentang HANAFI.

Dan tentang cerita ini, semua orang pasti punya itu
Cerita tentang “Ayah, sepeda, dan sahabat masa kecil yang pergi entah kemana”
Kawan, saya masih bisa mengingat ruang dan waktu yang berkonspirasi menciptakan sebuah cerita tentang kita, lalu memisahkan kita. Dan mudah-mudahan ada hari dimana rindu yang menumpuk ini pecah oleh haru.

2 comments:

  1. woah sepedanya udah gitu yaa ,,hehe tapi kenangannya yang tidak bisa ternilai hanya dari bentuk atau keadaanya sekarang ,,hehe

    ReplyDelete
  2. barang yang tak seberapa tapi jika mempunyai sejarah dan kenangan tersendiri itu pasti berharga

    ReplyDelete