Friday 17 February 2012

Monoton



Banyak aku mendengar akan keluhan setiap orang, 80% dari keluhannya itu ialah, merasa kehidupannya monoton, ada lagu yang bilang terjerat dalam sistem industri, hanya terlahir, sekolah, bekerja dan akhirnya mati. Terfikir olehku kehidupan yang bagaimana sih? Yang selalu mereka anggap monoton. Pernah ada yang bercerita sih, kalo kerjaannya setiap hari, saat mentari terbit, dia bersiap berangkat kekantor, melakukan aktifitas seperti biasa, sebagaimana pekerjaannya setiap hari, hingga sore seluruh target kerjanya seharian selesai, sudah waktunya untuk pulang, dan hal yang sama berulang kali ia lakukan setiap hari, sampai akhirnya sampai pada sebuah titik limitnya, dan apa saat berada dititik itukah yang monoton? Entahlah aku tak tau, terkadang disaat aku jenuh akan semua pekerjaanku, aku juga mengatakan hal yang sama “betapa monotonnya hidupku ini” terlahir, diperbudak perindustrian, diinjak, bahkan bekerja melebihi waktu jam kerja, tentu semua ada batasnya, apa disaat berada dibatas itu yang dinamakan monoton??

Aku rasa tidak, nyaris 5 bulan aku tak bekerja sama sekali, menghabiskan waktuku sia-sia, aku hanya datang kekantor tanpa melakukan apa-apa, malah terkesan hanya merepotkan orang-orang dikantor,dan disaat seperti itu, meski banyak libur yang aku rasa, aku juga jenuh dan merasa bosan, ingin sekali rasanya balik keproyek dan memulai kesibukan dengan bekerja seperti biasanya, apa itu juga termasuk hal yang monoton, tidak melakukan apa-apa, dan yang mana yang benar?

Bagiku, monoton itu kehidupan seseorang yang masih bergantung hidup pada orang lain, tanpa melakukan apa-apa, bisa dibilang secara kasar pengangguran yang tidak mau berusaha, dan malas, bagiku itu yang monoton, setidaknya orang yang lelah bekerja itu, selalu punya pemikiran bahwasanya betapa lebih lelahnya menjadi seorang pengangguran, benar terkadang dia hanya bertanggung jawab akan dirinya sendiri, beban pikirannya jauh lebih berat dibanding orang yang bekerja, suatu saat jika seseorang telah kehilangan pekerjaannya, disaat itulah dia sadar hal yang mereka anggap monoton, sebenarnya adalah hal yang sangat baik yang pernah ia lakukan.

Aku ingin berandai-andai,
Seandainya petani yang bekerja disawah punya suatu pemikiran bahwa pekerjaannya monoton, bayangkan saja, pagi buta ia sudah bangun, mempersiapkan peralatan sawahnya, bahkan sebelum matahari terbit terkadang dia sudah berada diantara jalan setapak yang menuju sawahnya, membajak sawah, menanam padi, dan mengurus semuanya, mulai dari merawat padi selama enam bulan, harus menjaga padi sepanjang hari dari ribuan burung pipit yang selalu mencuri kesempatan untuk bertengger diatas rumpun padi, dan itu ia lakukan setiap hari sepanjang tahun dalam usianya,
Jika andaikan 50 % dari petani yang bekerja seperti itu sudah berfikir dan menganggap dirinya monoton, sudahlah, harga beras akan melambung sangat tinggi dan menjadi langka, lalu yang berprofesi tidak menjadi petani, mau makan apa? Seperti itulah hasil dan jasa dari kerja petani yang terkadang setiap orang berfikiran, hidupnya monoton, hanya berputar-putar disitu saja, tapi hal monoton yang dia lakukan itu, membawa manfaat yang sangat besar bagi orang banyak.

Dan disaat seseorang bekerja 5 hari dalam seminggu, melakukan hal yang sama dalam pekerjaannya setiap hari, terkadang masih saja merasa hidupnya sangatlah monoton, dengan alasan, hal itulah yang berulang kali dia lakukan tiap minggu sepanjang tahun, tapi kalo difikir kembali, apa sebenarnya yang dia inginkan? Disaat diberi pekerjaan bagus, dengan hitungan Cuma 5 hari dalam seminggu, diawal dia akan merasa sangat bersyukur dengan apa yang telah ia dapat, tapi beberapa bulan kedepan, dia mulai jenuh, dan berkata hidupnya sangat monoton, lalu kemana rasa syukur yang dulu?, lantas apa keinginan dia yang sebenarnya. Apa itu yang monoton? Itulah kewajiban, dia digaji untuk pekerjaan monoton tersebut, toh disetiap hari libur, dia bisa bersenang-senang dengan apa yang dia punya, hasil dari pekerjaan monotonnya, dan bagiku, ketika aku mulai merasa hidupku monoton, disaat itulah aku ditampar oleh diriku sendiri, kemana rasa syukurku sebanyak air yang ada disamudera dulu?.

Jika aku melakukan suatu hal berulang-ulang setiap harinya, tapi aku tidak mendapatkan hasil dari kerja kerasku itu, disaat itulah aku merasa hal monoton,
Tetapi ketika aku bekerja, melakukan hal yang sama berulang-ulang, setiap hari sepanjang hidupku, dan aku bisa membahagiakan orang disekelilingku atas kerja kerasku, dan lagi aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan hasil dari pekerjaan yang berulang-ulang itu, menurutku itu bukanlah monoton, itu hanya rasa jenuh, yang memang harus dihilangkan, dengan refreshing berlibur dengan waktu tertentu, dan menyisakan waktu untuk tertawa bersama teman-teman, karena monoton itu adalah nol, monoton itu tidak mempunyai nilai, jika masih ada yang merasa hidupnya monoton, berfikiranlah, bahwa monoton itu yang membayarmu, untuk mendapatkan apapun.

Itulah tuntutan hidup yang harus dijalani,  “terlahir, sekolah, bekerja, mati” tergantung individu kita, membuat skenario dengan rencana sebaik mungkin untuk melewati semua fase itu, meski takdir itu sudah ditentukan. Tidak ada salahnya untuk mencoba, karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau bukan kaum itu sendiri yang mulai merubahnya. Jadi manusia diberi pilihan, membuat jalan hidup yang indah, dengan fikiran positif, atau membuat jalan hidup yang berantakan karena selalu berfikiran buruk tentang segala hal sesuatunya.

Makna sebenarnya, diri sendirilah, yang membuat kita merasa hidup monoton, padahal, hal yang monoton itu sebenarnya tidak ada. Monoton itu ada ketika kita tidak melakukan hal yang berguna untuk kita dan orang lain, jadi.. monoton sama saja dengan tidak bersyukur, hehehe.

No comments:

Post a Comment