Thursday 10 June 2021

Titik temu

Sembilan belas hari menuju satu tahun hari itu, pada akhirnya aku mengemas lagi segala pakaian dan barang-barang yang aku bawa pindah dari tahun lalu. Cerita tentang meninggalkan menemuiku lagi hari itu, sepertinya sedikit bersahabat, “kembali ke kampung halaman” selintas kata-katanya yang terbesit dan selalu aku ingat sampai hari ini. Setahun yang tak menggenap meninggalkan rasanya nyaman dimana-mana. Bantal yang aku beli ketika tak lama berselang setelah kedatanganku ke kota ini, kamar yang telah disediakan, segala fasilitas yang sudah ada tanpa perlu diminta, kursi yang cukup nyaman dibalik kubikal menyebalkan yang terakhir terasa nyaman. Komputer kantor yang isinya hanya file pekerjaan, lapangan futsal, mushala, ruang photocopy, pantry, ruangan kerja departemen lain, pos security, tempat parkir kendaraan, pohon rambutan, pohon mangga, bahkan bapak-bapak security yang sedia meminjamkan kunci mobil kantor, agar bisa berkeliaran diakhir pekan.


Aku akan sangat merindukan tempat ini, sebuah kota paling besar dibagian utara. Berat hati rasanya pindah ke kota ini dulu, gersang dan panas, seperti aku takkan nyaman. Lalu semua cerita-cerita itu tercipta dan kota utara ini menjadi salah satu kota favorit dalam daftar kota-kota yang aku sukai, atau mungkin sudah tahap cinta? Entahlah, aku merindukannya terkadang tanpa tau apa yang tengah aku rindukan pada kota itu, sementara hari ini, tak satupun lagi orang-orang yang aku kenal berada disana, dan rasanya sebagian hatiku jatuh dan tertinggal disana.

 

Perihal meninggalkan, tak serta merta semuanya akan berakhir. Pandemi kala itu membuat bandara jauh lebih sunyi dari biasanya, aku penerbangan siang ini, tak begitu banyak orang berangkat, dan berangkat ditengah pandemi benar-benar menyebalkan, merepotkan dan melelahkan. Sampai pada akhirnya aku kembali ke haribaan kota Padang, tempat aku tinggal dan hidup lebih dari sepuluh tahun, meninggalkan rumah dan pindah ke Padang pada umur enam belas tahun, dan hari ini dalam hitungan hari aku menginjak usia dua puluh delapan tahun.

 

Ah, aku benci hari ini. Dalam benakku berkecamuk, pindah ke utara satu tahun lalu itu juga menyebalkan, rasanya aku sudah tidak punya waktu lagi untuk berbasa-basi dengan orang-orang, cukup aku menjalani hidupku sendiri dan orang-orang berjalanlah pada garis hidupnya sendiri. Aku tak ingin bersinggungan dengan siapapun waktu dulu itu, pada akhirnya aku selalu kalah, hati selalu dilembutkan dan dibuat tersenyum lagi, dibuat tertawa lagi, aku percaya lagi pada ikatan pertemanan. Dan jadilah setengah hati itu tertinggal disana, butuh waktu tiga bulan untukku bisa berteman dengan semua orang disana, bukan aku yang biasanya, seperti ketela pohon dibuang kemana saja dan tumbuh. Semakin tua, susah rasanya untuk bertumbuh secepat itu.

 

Dan setahun kemudian aku dihadapkan lagi pada posisi itu, sebuah senyum hangat menyambutku ketika keluar dari mobil angkutan bandara. Jauh diseberang halaman, beberapa pasang langkah kaki berjalan ke teras kantor, lalu berbasa-basi seperti apa perjalanan dan ada gestur seolah apakah sudah siap bekerja sekuat hati? Aku masuk menyalami setiap pasang mata dengan tatapan persahabatan, memperkenalkan diri kesemua orang, dalam hatiku mengumpat. Sial! Kenapa aku satu-satunya orang asing ditengah tim yang sudah lama terbentuk ini. Dari kabar yang aku tau, tim ini sudah terbentuk dari proyek-proyek sebelumnya dan aku adalah satu-satunya orang asing yang bergabung dengan mereka. Aku tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya.

 

Sebulan pertama aku menghabiskan waktu dikantor cabang, ketika yang lain sudah pindah ke mess yang sudah disediakan didekat pengerjaan proyek, masih belum banyak berinteraksi dengan orang lain, karena hampir 100% pekerjaanku hanya seputar urusan proyek dengan internal perusahaan. Aku juga tidak mengenal semua orang yang satu per satu mulai berdatangan, masih saja hampir semua orang terasa asing disekitar. Perihal pandemi, ada beberapa hal positif yang terjadi akibat pandemi tersebut. hal pertama, mendekati lebaran tidak banyak hal yang bisa dikerjakan, sehingga dalam team lebih banyak waktu yang bisa digunakan untuk saling mengenal satu sama lain, banyak kegiatan diluar proyek yang bisa dilakukan bersama, duduk bersama, olahraga bersama, bakti sosial bersama, wisata alam bersama. Sehingga team terbentuk oleh intensitas kebersamaan, yang aku tidak menyangka pada akhirnya aku sadar. Team ini adalah team paling solid yang pernah aku punya.

 

Pelajaran pertama yang aku dapat ketika kembali ke proyek adalah, harus ada ajang perkenalan antar team, agar kedepan segala masalah dalam proyek dapat diselesaikan dengan tepat dan benar, kedekatan dalam team ini cukup luar biasa. Terbukti setelah delapan bulan segala rintangan seberat apapun terlalui dengan baik. Meski masih dengan catatan disana dan disini, proyek ini selesai nyaris sesuai dengan perencanaan. Dan cukup memberi kesejahteraan untuk semua orang.

 

Satu hal yang sampai hari ini aku tidak habis pikir adalah, setengah dari team adalah orang yang mempunyai hobi yang sama denganku, suka bermain musik, suka makan, suka berpetualang ke tempat baru tidak peduli itu tinggi diatas gunung atau itu jauh dalam hutan belantara. Sehingga cerita tidak hanya berhenti pada pekerjaan secara profesional. Diluar itu semua hubungan profesional menjadi lebih personal, tinggal serumah berbulan-bulan rasanya cukup untuk saling mengenal satu sama lain. Entah aku harus menyukurinya atau tidak, titik temu yang menyebalkan setahun yang lalu itu, berubah menjadi cerita-cerita lucu, cerita haru dan menyenangkan pada akhirnya.

 

Hari ini, satu tahun belum menggenap semenjak proyek ini dimulai. Sumatera Barat rasanya terlalu sempit untuk kami, entah sudah berapa banyak langkah, entah berapa banyak nyanyian, entah sejauh apa roda berputar, entah berapa juta makian, entah berapa milyar tawa. Titik temu itu berubah menjadi sebuah wadah yang sudah tidak sanggup lagi menampung ribuan cerita menyenangkan, menyedihkan, menyebalkan dalam waktu tak sampai satu tahun.

 

Entah ada apa dengan diriku, mengenal orang lain semenyenangkan itu pada akhirnya, tetap saja aku tak ingin mengenal orang lain. Lalu untuk apa cerita ini, hanya untuk mengingatkan diriku yang sangat egosentris ini, kamu tidak akan pernah bisa berusaha agar orang lain berhenti menyakitimu, sebanyak-banyaknya dirimu sakit, selalu ada luka yang disembuhkan entah oleh siapapun itu waktu, tempat dan orang-orang yang kamu temui, baik yang kamu kenal ataupun tidak kamu kenal baik. Sudahlah, berhentilah membangun dinding ego setinggi gunung itu, kamu takkan pernah berhenti tersakiti hanya karena kamu menyayangi dirimu sendiri. Catatan dari aku untuk diriku sendiri.

 

Dear team,

Terimakasih banyak, pada akhirnya aku hanya belajar lagi dan lagi dari semua yang terjadi, dari semua aku belajar, ternyata berteman bisa sedekat itu. Ternyata jatuh hati bisa sedalam itu, ternyata bekerja bisa seikhlas itu, ternyata olahraga bisa semenyenangkan itu, ternyata memaki bisa sebahagia itu, ternyata sebagai rekan kerja bisa “sepeduli” itu. Aku terlalu materialistis akhir-akhir ini, akibat semua yang terjadi beberapa tahun belakangan. Terakhir dalam sebuah percakapan ditelpon, ayah menampar aku dengan begitu keras. “Rejeki itu ngga melulu tentang uang fi” sebuah kalimat yang masih terngiang sampai sekarang, lalu ditambah cerita seorang teman “udah ngga percaya lagi sama tuhan?”. Berada ditengah-tengah orang hebat adalah rejeki yang benar-benar tidak ternilai harganya. Sudah lama rasanya aku tidak lagi mencoba memahami tentang apa yang terjadi pada diriku dari semua sudut pandang yang ada. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hari ini hanyalah bersyukur dan berterimakasih.









1 comment:

  1. Bagus ceritanya bung.. bukan hanya soal cari rezeki, tapi juga dapat bonus teman. semoga bertemu dengan team solid lagi ya bung..
    Tetap selalu berkarya

    ReplyDelete