Sembilan belas hari menuju satu tahun hari itu, pada akhirnya aku mengemas lagi segala pakaian dan barang-barang yang aku bawa pindah dari tahun lalu. Cerita tentang meninggalkan menemuiku lagi hari itu, sepertinya sedikit bersahabat, “kembali ke kampung halaman” selintas kata-katanya yang terbesit dan selalu aku ingat sampai hari ini. Setahun yang tak menggenap meninggalkan rasanya nyaman dimana-mana. Bantal yang aku beli ketika tak lama berselang setelah kedatanganku ke kota ini, kamar yang telah disediakan, segala fasilitas yang sudah ada tanpa perlu diminta, kursi yang cukup nyaman dibalik kubikal menyebalkan yang terakhir terasa nyaman. Komputer kantor yang isinya hanya file pekerjaan, lapangan futsal, mushala, ruang photocopy, pantry, ruangan kerja departemen lain, pos security, tempat parkir kendaraan, pohon rambutan, pohon mangga, bahkan bapak-bapak security yang sedia meminjamkan kunci mobil kantor, agar bisa berkeliaran diakhir pekan.
Aku akan sangat merindukan tempat ini, sebuah kota paling besar dibagian utara. Berat hati rasanya pindah ke kota ini dulu, gersang dan panas, seperti aku takkan nyaman. Lalu semua cerita-cerita itu tercipta dan kota utara ini menjadi salah satu kota favorit dalam daftar kota-kota yang aku sukai, atau mungkin sudah tahap cinta? Entahlah, aku merindukannya terkadang tanpa tau apa yang tengah aku rindukan pada kota itu, sementara hari ini, tak satupun lagi orang-orang yang aku kenal berada disana, dan rasanya sebagian hatiku jatuh dan tertinggal disana.
Perihal meninggalkan, tak serta merta semuanya akan berakhir.
Pandemi kala itu membuat bandara jauh lebih sunyi dari biasanya, aku
penerbangan siang ini, tak begitu banyak orang berangkat, dan berangkat
ditengah pandemi benar-benar menyebalkan, merepotkan dan melelahkan. Sampai
pada akhirnya aku kembali ke haribaan kota Padang, tempat aku tinggal dan hidup
lebih dari sepuluh tahun, meninggalkan rumah dan pindah ke Padang pada umur
enam belas tahun, dan hari ini dalam hitungan hari aku menginjak usia dua puluh
delapan tahun.
Ah, aku benci hari ini. Dalam benakku berkecamuk, pindah ke
utara satu tahun lalu itu juga menyebalkan, rasanya aku sudah tidak punya waktu
lagi untuk berbasa-basi dengan orang-orang, cukup aku menjalani hidupku sendiri
dan orang-orang berjalanlah pada garis hidupnya sendiri. Aku tak ingin
bersinggungan dengan siapapun waktu dulu itu, pada akhirnya aku selalu kalah,
hati selalu dilembutkan dan dibuat tersenyum lagi, dibuat tertawa lagi, aku
percaya lagi pada ikatan pertemanan. Dan jadilah setengah hati itu tertinggal
disana, butuh waktu tiga bulan untukku bisa berteman dengan semua orang disana,
bukan aku yang biasanya, seperti ketela pohon dibuang kemana saja dan tumbuh.
Semakin tua, susah rasanya untuk bertumbuh secepat itu.
Dan setahun kemudian aku dihadapkan lagi pada posisi itu,
sebuah senyum hangat menyambutku ketika keluar dari mobil angkutan bandara.
Jauh diseberang halaman, beberapa pasang langkah kaki berjalan ke teras kantor,
lalu berbasa-basi seperti apa perjalanan dan ada gestur seolah apakah sudah
siap bekerja sekuat hati? Aku masuk menyalami setiap pasang mata dengan tatapan
persahabatan, memperkenalkan diri kesemua orang, dalam hatiku mengumpat. Sial!
Kenapa aku satu-satunya orang asing ditengah tim yang sudah lama terbentuk ini.
Dari kabar yang aku tau, tim ini sudah terbentuk dari proyek-proyek sebelumnya
dan aku adalah satu-satunya orang asing yang bergabung dengan mereka. Aku tidak
tau apa yang akan terjadi kedepannya.
Sebulan pertama aku menghabiskan waktu dikantor cabang,
ketika yang lain sudah pindah ke mess yang sudah disediakan didekat pengerjaan
proyek, masih belum banyak berinteraksi dengan orang lain, karena hampir 100%
pekerjaanku hanya seputar urusan proyek dengan internal perusahaan. Aku juga
tidak mengenal semua orang yang satu per satu mulai berdatangan, masih saja
hampir semua orang terasa asing disekitar. Perihal pandemi, ada beberapa hal
positif yang terjadi akibat pandemi tersebut. hal pertama, mendekati lebaran
tidak banyak hal yang bisa dikerjakan, sehingga dalam team lebih banyak waktu
yang bisa digunakan untuk saling mengenal satu sama lain, banyak kegiatan
diluar proyek yang bisa dilakukan bersama, duduk bersama, olahraga bersama,
bakti sosial bersama, wisata alam bersama. Sehingga team terbentuk oleh
intensitas kebersamaan, yang aku tidak menyangka pada akhirnya aku sadar. Team
ini adalah team paling solid yang pernah aku punya.
Pelajaran pertama yang aku dapat ketika kembali ke proyek
adalah, harus ada ajang perkenalan antar team, agar kedepan segala masalah
dalam proyek dapat diselesaikan dengan tepat dan benar, kedekatan dalam team
ini cukup luar biasa. Terbukti setelah delapan bulan segala rintangan seberat
apapun terlalui dengan baik. Meski masih dengan catatan disana dan disini,
proyek ini selesai nyaris sesuai dengan perencanaan. Dan cukup memberi
kesejahteraan untuk semua orang.
Satu hal yang sampai hari ini aku tidak habis pikir adalah,
setengah dari team adalah orang yang mempunyai hobi yang sama denganku, suka
bermain musik, suka makan, suka berpetualang ke tempat baru tidak peduli itu
tinggi diatas gunung atau itu jauh dalam hutan belantara. Sehingga cerita tidak
hanya berhenti pada pekerjaan secara profesional. Diluar itu semua hubungan
profesional menjadi lebih personal, tinggal serumah berbulan-bulan rasanya
cukup untuk saling mengenal satu sama lain. Entah aku harus menyukurinya atau
tidak, titik temu yang menyebalkan setahun yang lalu itu, berubah menjadi
cerita-cerita lucu, cerita haru dan menyenangkan pada akhirnya.
Hari ini, satu tahun belum menggenap semenjak proyek ini
dimulai. Sumatera Barat rasanya terlalu sempit untuk kami, entah sudah berapa
banyak langkah, entah berapa banyak nyanyian, entah sejauh apa roda berputar,
entah berapa juta makian, entah berapa milyar tawa. Titik temu itu berubah
menjadi sebuah wadah yang sudah tidak sanggup lagi menampung ribuan cerita
menyenangkan, menyedihkan, menyebalkan dalam waktu tak sampai satu tahun.
Entah ada apa dengan diriku, mengenal orang lain
semenyenangkan itu pada akhirnya, tetap saja aku tak ingin mengenal orang lain.
Lalu untuk apa cerita ini, hanya untuk mengingatkan diriku yang sangat
egosentris ini, kamu tidak akan pernah bisa berusaha agar orang lain berhenti
menyakitimu, sebanyak-banyaknya dirimu sakit, selalu ada luka yang disembuhkan
entah oleh siapapun itu waktu, tempat dan orang-orang yang kamu temui, baik
yang kamu kenal ataupun tidak kamu kenal baik. Sudahlah, berhentilah membangun
dinding ego setinggi gunung itu, kamu takkan pernah berhenti tersakiti hanya
karena kamu menyayangi dirimu sendiri. Catatan dari aku untuk diriku sendiri.
Dear team,
Terimakasih banyak, pada akhirnya aku hanya belajar lagi dan
lagi dari semua yang terjadi, dari semua aku belajar, ternyata berteman bisa
sedekat itu. Ternyata jatuh hati bisa sedalam itu, ternyata bekerja bisa
seikhlas itu, ternyata olahraga bisa semenyenangkan itu, ternyata memaki bisa
sebahagia itu, ternyata sebagai rekan kerja bisa “sepeduli” itu. Aku terlalu
materialistis akhir-akhir ini, akibat semua yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Terakhir dalam sebuah percakapan ditelpon, ayah menampar aku dengan begitu
keras. “Rejeki itu ngga melulu tentang uang fi” sebuah kalimat yang masih
terngiang sampai sekarang, lalu ditambah cerita seorang teman “udah ngga
percaya lagi sama tuhan?”. Berada ditengah-tengah orang hebat adalah rejeki
yang benar-benar tidak ternilai harganya. Sudah lama rasanya aku tidak lagi
mencoba memahami tentang apa yang terjadi pada diriku dari semua sudut pandang
yang ada. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hari ini hanyalah bersyukur
dan berterimakasih.
Bagus ceritanya bung.. bukan hanya soal cari rezeki, tapi juga dapat bonus teman. semoga bertemu dengan team solid lagi ya bung..
ReplyDeleteTetap selalu berkarya