Hari ini selasa, ketika kemaren terasa semua berantakan disepanjang
hari ketika salah seorang teman mengirim sebuah pesan pendek dipagi hari,
disaat itu aku sedang sarapan pagi sambil menunggu kantor pengurusan surat izin
mengemudi buka. Isinya ringkas, tapi rasanya cukup membuat hari itu terasa
tergesa, detik jam yang dilihat pada hari biasa serasa pelan. Namun setelah
pesan itu masuk, jarum menit serasa jarum detik kecepatan geraknya.
Skripsi kamu sudah jilid?
Hari ini dikumpul terakhir,
Kalo engga nanti nilai ngga
keluar.
Aku teringat kembali akan revisi skripsi yang sama sekali belum aku
sentuh, skripsi yang kertas revisiannya sudah berdarah-darah namun bukan karena
susah dalam pengerjaannya. Darah dalam artian sebenarnya karena teman sekamar
mengelap darah bekas jerawatnya dengan kertas tersebut, kertas berharga bagiku
yang dianggap kertas tidak penting dan siap untuk dibuang.
Malam 27 Ramadhan
Ini untuk pertama kalinya aku dan dia jalan berdua, sudah lama aku
ingin berbicara langsung dengan dia berdua saja. Tentang semua apa yang terasa
didalam hati, tentang keinginan-keinginan dan harapan-harapan yang semoga baik
dan menyenangkan pada akhirnya nanti. Pun aku ingin tau seperti apa rasa
didalam hatinya, seperti apa yang dia inginkan apakah nantinya akan sama.
Pukul 18:00 aku menjemputnya kerumah, bertemu dengan orang tuanya. Dan
sedikit bicara kabar dan kesibukan apa yang sedang dijalani sekarang, seraya
menunggu dia selesai dengan semua persiapannya. Hari itu aku dan dia berbuka
puasa bersama berdua saja disebuah tempat makan disekitaran jantung kota Padang.
Setelah selesai shalat maghrib, kami kembali kemeja yang sudah
dibooking sedari sore. Masih membicarakan tentang kesibukan apa yang sedang
kami jalani, dan akhirnya sampailah pada bahasan itu, aku mengenalnya beberapa
bulan yang lalu. Dia punya pesona, dan kelebihan yang membuat aku semakin suka
dalam kesederhanaannya. Aku mengenal saudara-saudaranya, dan kedekatan itu yang
membuat aku juga mengenal dekat orang tuanya. Semua orang tau aku menyukainya,
semua orang juga tau, untuk saat ini aku tidak ada niatan untuk berpacaran
tidak jelas ketika mendekati seseorang.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya aku menyatakan apa yang aku rasa
didalam hati, dia mengerti tentang semua-semua yang aku harapkan. Aku ingin
menikahinya, pun dia menjawab bersedia dinikahi oleh aku. Tapi dalam posisinya
yang sekarang dia tidak akan bisa memberi keputusan kapan niat baik itu akan
terlaksana, tidak ada kesepakatan apa-apa malam itu. Aku suka dan ingin
menikahinya dan diapun begitu. Tapi semua tak akan pernah berjalan semudah itu.
Dari setiap penuturannya aku sudah mulai gelisah dan ragu dengan akhir dari
cerita ini.
10 hari setelah lebaran
Aku sudah berada dikota Padang lagi untuk kembali beraktifitas,
setelah sebelumnya aku pulang dan berdiam diri dirumah menikmat libur lebaran
bersama keluarga. Tak lama dari itu dia menghubungiku, ingin bertemu
melanjutkan kesepakatan yang belum menemui titik temu pada malam 27 Ramadhan
itu. Aku datang sekalian berlebaran kerumahnya, mengucap salam dan
bermaaf-maafan dengan semua yang ada didalam rumah. Sore itu bercengkrama
hangat dengan keluarganya, sampai pada akhirnya aku keluar berdua dengannya
melanjutkan percakapan yang masih terpotong itu, sekalian nanti aku juga akan
mengantar dia kerumah kakak sepupunya untuk menginap disana.
Aku duduk tepat didepannya, sama seperti pertemuan sebelumnya. Cerita
masih seputaran kegiatan apa yang menyibukkan selama ini, karena intensitas
komunikasi aku dengan dia bisa dibilang jarang. Dan tiba-tiba mukanya memerah
dan menunduk, lalu mengatakan padaku. Dia belum siap untuk menikah pada umur
yang telah aku katakan padanya pada malam 27 Ramadhan itu. Dia meminta aku
menunggu lebih lama dari pada rentang waktu yang aku bisa, seperti yang aku
katakan sebelumnya.
Kali ini aku yang dibuat berfikir keras untuk hal ini. Aku tidak
mungkin bisa menunggu selama itu, meski dia sudah meyakinkan aku untuk
menunggunya. Sore yang sendu itu juga sama nasibnya dengan malam 27 Ramadhan
yang lalu. Kami tak pernah memiliki titik temu untuk masalah tunggu menunggu
ini. Aku juga belum bisa membuat keputusan sore itu, ujung cerita yang dulunya
aku ragukan akhirnya, semakin membuat aku jatuh dalam kebimbangan. Aku
mengantarnya kerumah sepupunya dan mengatakan berfikir dulu untuk semua
keputusan yang akan aku ambil nanti.
Beberapa hari setelah sore itu aku menjadi sedikit pendiam, apa yang
seharunya aku lakukan. Aku tidak bisa menunggu selama itu untuk alasan yang
jelas-jelas hanya aku yang dapat mengerti sendiri. Aku hanya menghibur diri
dengan men-download film secara ilegal dengan teman sekamar dan menontonya
dengan proyektor milik kantor, kamar sempit itu kami ubah menjadi sebuah
bioskop mini, menonton banyak film sebelum tidur.
Ada malam dimana kami kehabisan film untuk ditonton, lampu kamar sudah
dimatikan. Dan aku sudah tidak tahan dengan apa yang berkecamuk didalam hatiku,
aku menceritakan semua keluh kesah itu pada teman sekamarku. Dari semua cerita
panjang lebar itu dia menyimpulkan “Gini
lo fi, Kadang walaupun dia suka dan kamu pun suka, tapi waktunya ngga tepat itu
juga namanya ngga jodoh”.
Setidaknya menumpahkan semua resah yang ada didalam dada itu bisa
membuat aku sedikit lebih tenang, aku memutuskan untuk pulang pada akhir pekan
depan. Ibu juga telah menelpon mengabari bahwasanya Ibu dan Ayah dalam keadaan
sakit. Aku juga ingin tau apa pendapat ibu tentang apa yang sedang aku hadapi
ini. Ibu juga telah mengenal wanita ini, beberapa bulan yang lalu ketika ada
acara keluarga di Padang. Sedari dulu aku memang begitu, semua keluh kesah
selalu aku sampaikan pada Ibu, sampai pada pengambilan sebuah keputusan yang
bakal berdampak besar nantinya dalam kehidupanku.
Aku ceritakan semuanya pada ibu, jujur aku tak bisa menunggu selama
itu dan keyakinan itu dikuatkan oleh Ibu, “kalo
memang kamu ngga bisa ya sudah diikhlaskan saja”. Pada akhirnya keputusanku
bulat, aku dan dia memang tak pernah terikat dalam suatu ikatan apapun, namun
dia tau bagaimana perasaanku padanya. setidaknya dengan mengiyakan menikah
denganku cukup meyakinkan aku bahwasanya dia juga suka denganku, hanya saja
dengan waktu yang tidak tepat itu dan semua masalah yang tak akan pernah bisa
dipaksakan selesai semua ini takkan berjalan semudah itu.
Seminggu yang lalu
“Apakabar Kamu, Kemana saja
belum lagi menghubungiku”, jawabnya ketika aku menghubunginya dengan sebuah
pesan pendek, karena sebelumnya ketika aku menelponnya dia tak mengangkat
telpon dariku karena dia sedang tidak disekitar telpon genggamnya tersebut. Aku
menjawab sebisaku, dan akhirnya sepakat kami akan bertemu minggu sore yang
mungkin akan jauh lebih sendu daripada sore sebelumnya.
Sore itu temanku mengantarkan aku ke tempat kami berjanji. Aku tidak
menjemputnya kerumah, karena hari itu dia sedang ada keperluan diluar sedari
pagi. Banyak hal yang kami bicarakan sebelum hal itu aku sampaikan. Termasuk
kapan jadwal dia masuk kuliah, atau bagaimana kabarku akhir-akhir ini apakah
masih sangat sibuk atau bagaimana. Sore sudah masuk kewaktu Ashar, aku mulai
menyampaikan semua yang tak bisa aku lakukan untuknya.
Dengan permohonan maaf diawal, atas semua yang telah aku lakukan, dan
dilanjutkan dengan mengatakan aku tidak sanggup menunggu dia dalam rentang
waktu selama itu, dengan alasan yang barangkali hanya aku yang mengerti. Sama
halnya dengan alasan dia yang tidak siap menikah pada umur yang aku inginkan.
Aku berharap dia bisa menerima alasanku sebagaimana aku bisa mengerti dengan
semua alasannya.
Bukan aku tidak sungguh-sungguh sehingga meragu untuk menunggu dia
dalam waktu selama itu. Dia wanita pertama yang pernah aku ajak untuk menikah.
Aku tidak sedang bercanda mengatakan hal semacam itu, jika dia mau dengan semua
waktu yang aku bisa. Aku bersedia menghadapi apapun tantangannya kedepan. Tapi
berdua dengannya, karena takkan mungkin untuk aku berjuang sendirian.
Hal yang masih membuat aku kagum padanya, dalam umur yang berbeda jauh
dibawahku. Dia bisa mengerti dengan semua yang aku ucap. Dia tersenyum manis
dan bisa memahami dengan mudah kondisinya, mengerti dengan semua
alasan-alasanku yang tidak bisa menunggunya selama itu. “Jadi?, ngga ada yang ditolak dan menolak ya. Kamu bisa terima semua
keputusanku dan aku menerima semua keputusanmu, dan hubungan kita seperti
biasa, ngga ada yang berubah”.
Aku menyukainya, sebaliknya diapun begitu. Waktu yang tidak tepat
menjadi masalah besar dalam hubungan ini, dan kami tidak punya jalan tengah untuk
itu. Kami sudah berada dijalan buntu, dan aku berada dijalanku sendiri untuk
kembali dan diapun begitu. Dalam perpisahan manis itu kami punya “analogi
celana sempit” dalam masalah ini. Sambil bercanda dan tertawa dalam keadaan
yang sebenarnya menyedihkan itu. “Kayak
celana sempit, kalo ngga muat trus kita paksain buat dipake. Pasti bakalan
robek” kataku menyamakan dengan hal yang tak bisa dipaksakan ini “Apalagi kalo kainnya ngga bagus”
timpalnya, dia sangat mengerti akan hal itu. Semoga cita-citanya menjadi
desainer hebat itu terwujud.
Aku dan dia juga belum tentu punya pondasi yang bagus untuk membangun
sebuah hubungan yang kokoh, sejalan dengan kain yang tidak bagus tadi. Akan
sangat mudah robek sebuah celana sempit dengan dasar kain yang tidak bagus dan
dipaksa memakainya karena tidak muat. Teman sekamarku benar, waktu yang tidak
tepat itu yang menjadi masalah besar. Barangkali itu yang menandakan aku dan
dia tidak berjodoh. Barangkali juga kami sudah benar-benar menyerahkan semua
ini pada sang pemilik hati. Sehingga pada akhirnya keputusan yang menyedihkan
ini dapat kami terima dengan lapang dada. “kamu ngga boleh sombong!” katanya
dengan mimik wajah yang dibuat seolah sedang marah “aku takut kamu yang
sombong” jawabku. Kita akan baik-baik saja lanjutku dalam hati.
Setidaknya aku dapat belajar untuk menerima, ada banyak hal didunia
ini yang tidak bisa dipaksakan. Dan berlapang dada merupakan jalan alternatif
yang bisa membuat luka-luka tersebut cepat sembuh, dan sepertinya semenjak hari
itu, aku harus mulai kembali entah mencari atau menunggu seseorang yang aku
sukai dan menyukaiku dalam waktu yang tepat. Artinya satu lagi cerita tentang
mimpi-mimpi dan harapan-harapan harus aku kubur dalam-dalam, dan memberinya
nisan untuk mengingatkan aku, dia pernah dihatiku, tapi barangkali aku memang
belum pantas untuknya. Aku harus lebih lagi dalam memperbaiki diri.
Seminggu Setelahnya
Aku terlalu pagi datang kekantor Polisi untuk membuat surat izin
mengemudi itu, sehingga terjebaklah aku didepan sebuah sarapan, pesan singkat
yang cukup membuatku sedikit uring-uringan, dan seorang lelaki calon mantu Ibu
dulu yang akan dinikahkan dengan uni, namun mereka tak berjodoh, dan sekarang
lelaki itu sudah dianggap Ibu menjadi anaknya.
“Anak Mery apa kabar Fi? Sudah
berapa umurnya?”. Deg, apa rasanya? Menanyakan anak seseorang yang
barangkali dulu pernah berada jauh didalam hati? Sudah seikhlas itukah dia
menerima semua keputusan-keputusan salah paham beberapa tahun yang lalu itu?.
Ibu dulu menyukainya, Ayah-pun sama. Bahkan tetangga yang merupakan orang
terhormat sekabupaten mengakui bahwa lelaki yang sedang dihadapanku ini adalah
anak orang hebat, baik dalam kehidupan sosial maupun agamanya.
Oleh karena itulah Ibu sudah menganggapnya sebagai anak, Kalio Lokan yang Ibu masak untuk aku
bawa ke proyek sedikitnya juga akan diberikan kepadanya, lewat aku ibu berpesan
agar dia datang kerumah dan makan dirumah. Sampai hari ini aku belum lagi
melihatnya bersama dengan wanita lain. Ibu bilang dulu pernah liat dia sedang
jalan dengan seorang wanita, tapi ketika Ibu bertanya dia selalu mengelak dari
pertanyaan tersebut. Semua orang sudah terima dengan tiap-tiap keputusan
sensitif itu, begitulah jodoh. Bahkan sesuka apapun semua orang dengan sebuah
hubungan. Tapi jika tidak berjodoh, lapang dada-lah yang akhirnya menjadi
alternatif.
Sorot matanya masih terlihat sendu, entahkah masih sedih atau memang
dia lelah setelah begadang semalaman menjalankan tugas piket malamnya. Tapi dia
lelaki yang kuat aku lihat. Lelaki punya cara-caranya tersendiri untuk patah
hati. Akupun begitu.
Hari itu benar-benar berantakan, aku harus berpacu dengan waktu.
Me-revisi semua kesalahan pada skripsi dan pergi bersama seorang sahabat dekat.
Sedih kalau dia harus pindah ke jakarta, wacana yang ia sampaikan beberapa hari
lalu. Kami berangkat bersama mengurus skripsi itu. Kami sama-sama terlambat.
Akhirnya aku pulang dalam keadaan hujan badai mengendarai sepeda motor sejauh
40 km.
Lagi-lagi, otakku sedang diganggu oleh sesuatu begitu juga hatiku. Mereka
tidak mau singkron. Dalam cerita patah hati tadi, ada yang mengusik hatiku.
Tentang buku, dan seseorang dari masa lalu. Akan aku ceritakan lain kali.
![]() |
Seperti langit, terkadang cerah kadang hujan Source : Dokumentasi Pribadi |
selesai membaca.
ReplyDelete