#Ayah, Sepeda dan Teman Masa Kecil
Tentang cerita-cerita malam
itu, pada suatu malam ada sebuah cerita tentang Ayah yang menjual tanah sawit
yang sudah tidak begitu terasa lagi hasilnya, Ayah berhasil menjual kebun itu
dengan nominal yang cukup besar. Dari itulah Uni bisa membuka Toko Baju
dirumah, Abang saya yang gede bisa melunasi hutangnya di Bank yang dulu dipakai
untuk membangun rumah, dan tentu melunasi hutang Ayah di Bank dengan nominal
yang juga lumayan gede. Alhamdulillah hari ini Ayah sudah tidak punya masalah
hutang piutang lagi dengan Bank. Akhir-akhir ini perekonomian rumah, Ayah
khususnya memang rada bermasalah, makanya ketika Ayah mendapat rezeki yang
lumayan. Ayah bercerita dia datang ke rumah cucu pertamanya dan memberi sebuah
surprise.
Mungkin, harga 500 ribu
untuk sebuah sepeda, untuk anak yang masih berumur 5 tahun, bagi orang lain
dianggap murah, tapi tidak untuk Ayah ataupun saya. Tapi rasanya itu hadiah
yang pantas untuk cucu pertamanya itu. Ketika Ayah menceritakan hal itu,
keponakan saya yang bernama Iky girang minta ampun, Ayah mengajak Iky kesebuah
toko sepeda, dan Iky disuruh memilih. Iky memilih sepeda yang sama sekali tidak
sesuai dengan usianya. Tapi lebih mendingan dibanding selera Ayah yang ingin
membelikan sepeda dengan keranjang cantik didepannya. Iky dengan senengnya
langsung make tuh sepeda dari toko kerumahnya yang cuma berjarak beberapa ratus
meter saja. Sampai dirumah, Iky meninggalkan sepeda barunya dipinggir jalan
lalu berlari kerumah langsung kepelukan mamanya, muka Iky memerah, dia malu
punya sepeda baru. Saya bisa tau raut wajah Ayah melihat cucu nya yang
bertingkah seperti itu. Mungkin itu cinta.
Tidak lama, baru saya
teringat. Sudah banyak banget anak-anak Mtsn didepan rumah, saya juga alumni
Mtsn itu. Mereka semua memakai sepeda datang kesekolah, berbeda dengan angkatan
saya yang lebih dari tujuh tahun yang lalu, banyak banget anak-anak yang masih
setingkatan SMP itu bawa kendaraan bermotor ke sekolah.
Saya jadi ingat dengan
perkataan mas Gesit beberapa waktu lalu, “di Pasaman Barat ini baru Booming yah
orang-orang pake fixie, di Jakarta malah sekarang udah ngga ada lagi” saya
masih begitu ingat dengan jawaban saya waktu itu, jawaban yang sama ketika
Luthfi menyatakan sebuah pernyataan kepada saya, dulu Luthfi bilang “anak SMP
disana sepedanya keren-keren yah?” saya masih ingat tahun lalu ketika saya
pulang, banyak banget polisi digerbang SMP atau sederajat, menangkap dan
menilang langsung anak-anak SMP yang bawa motor kesekolah.
Ternyata itu memang
menjadi Perda baru di kampung saya, yang boleh kendaraan bermotor kesekolah
hanya dari SMA keatas, yang lain bakalan ditilang dan hanya orang tua yang
dapat mengurus perkaranya kekantor polisi, kalo ngga diurus ya motornya bakalan
di kantor polisi terus.
Tentang cerita Ayah
menceritakan sepeda Iky, dan semua orang yang rame-rame naik sepeda kesekolah
kayak di Jepang. Membuat saya membongkar kembali lemari-lemari file diotak
saya. Masih ingatkan? Betapa senangnya ketika orang tua janji bakalan beliin
sepeda jika kita dapat ranking memuaskan disekolah? Masih ingat tidak? Tentang
kita 2 roda sepeda, dan 2 roda bantu, apakah masih ingat? Lutut dan sikut yang
terluka, hanya untuk bisa menyeimbangkan badan dan pandai bersepeda dengan
hanya dua ban saja?. Saya rasa semua orang punya cerita spesial tentang hal
ini.
Terlintas diotak saya
tentang tulisan ini ketika saya sedang di Yogjakarta kemarin. Saya mencatatnya
dinote smartphone, lalu baru sekarang bisa ditulis. Entah kenapa ini bisa
terlintas begitu saja di otak saya.
Waktu itu saya masih
SD, entah kelas 3 atau 4. Dulu Ayah
kekota Padang itu rasanya jauh banget. Ya bisa dibayangkan, ada orang dari
kampung yang pergi ke kota, untuk membeli alat-alat untuk membuat perabot,
semacam kuzen, pintu, jendela, meja, kursi, lemari dan lain-lain. Ketika Ayah
akan berangkat subuh-subuh, saya masih mewanti agar Ayah jangan lupa membelikan
saya sebuah sepeda seperti kesepakatan saya dan Ayah sebelumnya, saya udah ngga
sabar buat main sama teman-teman lain yang udah pada punya sepeda semua.
Kota Padang memang ngga
terlalu jauh dari kampung, tapi ketika saya masih kecil dulu, ketika diajak kekota
Padang itu rasanya seneng banget, dan sekarang hampir 6 tahun lebih saya
menetap dikota Padang dan rasanya biasa saja hari ini.
Saya tahu, ayah bakalan
ngambil mobil jurusan yang lewat depan rumah saya dari Padang. Mulai dari jam 6
sore tadi saya sudah duduk dipinggir jalan, menunggu dengar suara angin dan
dentuman musik dari mobil bus angkutan umum dari Padang itu. Kira-kira 300
meter dari rumah saya ada tikungan sehingga terkadang bus sebesar itu biasanya
kedengeran suara desiran anginnya terlebih dahulu baru terlihat mobilnya
datang.
Di mesjid tempat saya
mengaji, Siis sudah mengumandangkan adzan magrib, Ibu sudah memanggil dari
dalam rumah untuk segera masuk dan ngga baik magrib-magrib keluyuran dipinggir
jalan. Tapi biasanya Bus dari padang itu jam 6 sudah lewat didepan rumah dan
kenapa hari ini belum balik, dan ngga ada kabar dari Ayah sama sekali,
handphone dijaman itu memang kebutuhan tersier. Ayah memang ngga punya, saya
ingat hari itu Abang saya yang gede sama Uni juga sama dengan saya lagi
menunggu Ayah pulang.
Dengan langkah gontai
saya terpaksa jalan kerumah dengan berat hati dari pada nanti dimarahin Ibu.
Beberapa langkah kemudian, ada bunyi desiran angin yang kencang, tiba-tiba Uni
teriak “Ayah!!” sambil tersenyum lalu berlari lagi kepinggir jalan raya dan
melihat arah tikungan 300 meter dari rumah, Saya juga ikut-ikutan dibelakang
uni lari begitu juga kakak, beberapa saat kemudian yang terlihat adalah sebuah
truk besar pengangkut pasir yang bunyinya sama dengan Bus yang biasa dari Padang
itu. Saya kecewa, kakak kecewa dan Uni juga kecewa. Mereka berdua balik kedalam
rumah, saya masih menunggu dan melihat, ternyata ada Bus dengan tulisan
“MANDALA” didepan bagian atasnya dan “FANTASI” dibagian bawahnya tepat
dibelakang truk pengangkut pasir tadi. Saya teriak sama dengan teriakan Uni
tadi “AYAH!!” lebih histeris lalu Uni dan Kakak lari lagi kepinggir jalan raya.
Bus angkutan umum itu
benar-benar berhenti tepat di depan rumah, dari balik mobil ada sepasang kaki
yang turun memakai sendal Indian. Entahlah, orang dulu suka banget pake sendal
itu. Celana bahan seperti itu siapa lagi kalau bukan ayah, kemeja polos lengan
panjang yang dilipat sampai kesikut. Kebiasaan ayah satu hal, ya jarang banget
yang namanya bawa oleh-oleh. Selama ini jika ke padang hanya beberapa ikat
bengkuang yang dibawa kerumah. Ya seperti itulah hari-hari yang indah berlalu
dirumah.
Yang saya tunggu tidak
itu, “sepeda” yang ada di otak saya hanya sepeda. Tiba-tiba kenek bus tersebut
manjat keatas bagian Bus yang banyak banget barang-barang menumpuk disana, lalu
kenek itu mengangkat sebuah sepeda baru berwarna hijau tidak begitu besar
lengkap dengan roda bantu yang ada dikiri dan kanannya. Saya seneng banget hari
itu, beberapa belas tahun setelah hari itu sekarang anak kecil yang berdiri
menunggu sepeda itu merasa menyesal, kenapa perhatiannya hanya tertuju pada
sepeda barunya? Harusnya dia lihat paras Ayahnya yang lelah dalam perjalanan.
Tetap memaksa tersenyum meski perjalanan itu panjang.
Ya, meski saya belum
punya anak. Hari ini saya bisa rasakan, kasih sayang saya pada keponakan aja
rasanya sangat-sangat sayang, apalagi anak sendiri. Pasti semua orang tua punya
kepuasan bathin tersendiri bisa membuat anaknya senang. “Terimakasih Ayah”. Hal
yang tidak sempat anak kecil itu sampaikan hari itu.
 |
Butut, Tapi penuh dengan sejarah |
Keesokan harinya, saya
hanya tidak sabar menunggu jam pulang sekolah. Tanpa menunggu teman yang lain
seperti biasa jalan kaki pulang sekolah, saya ngibrit duluan kerumah. Sampai
dirumah saya menaruh tas di rak yang telah dibagi ayah untuk kami anaknya
masing-masing. Saya membuka baju putih tanpa mengganti celana dan
menggantungnya. Saya lari kebelakang langsung menarik sepeda itu dari dapur
kedepan. Ibu yang sedang sibuk didapur melirik, lalu berteriak dari dapur
“Piii, maen sepedanya nanti, makan dulu!” anak kecil memang memang selalu susah
untuk disuruh makan, “Iya bu nanti” saya menyahut, “Makan dulu atau nanti Ibu
jual lagi sepedanya” Ibu mengancam, “sebentar aja kok Bu, Cuma muter-muter SD
belakang rumah aja” saya merengek. Dan akhirnya saya kalah dalam perdebatan
itu, karena saya ngga mau sepedanya di jual.
Saya tidak menemukan
temen-temen yang lain yang biasanya sudah pada ngumpul di SD belakang sekolah,
cukup memalukan memang saya masih belum bisa mengendarai sepeda jika tanpa roda
bantu, sedangkan teman-teman saya yang lain sudah bisa menyeimbangkan badannya
dan sudah bisa balapan tanpa harus memakai roda bantu.
“Napi, sepeda baru ya?”
tiba-tiba ada yang menyapa saya, seorang anak kecil ingusan yang sedang berdiri
dipintu rumahnya. “Topan?” Saya menyebut namanya, Topan anak seorang guru Mtsn
yang berada didepan rumah saya, dia tinggal dengan keluarganya dirumah dinas SD
yang ada dibelakang rumah saya. Topan adalah seorang teman masa kecil saya yang
sangat akrab.
Lalu tiba-tiba Topan
berlari masuk kedalam rumahnya, mengeluarkan sebuah sepeda yang sama modelnya
dengan yang saya punya, besarnya pun sama. Yang membedakan sepeda Topan sudah
tidak punya roda bantu. Berminggu-minggu saya bermain sepeda dengan Topan.
Bahkan Topan bisa menyeimbangkan badannya dengan sepeda yang jauh lebih gede
punya Kakak saya. Ini membuat saya iri dengan Topan. Kenapa dia begitu hebat
mengendarai sepeda.
Sampai disuatu hari
saya balapan dengan Topan, masih di halaman SD belakang rumah saya. Saking kencengnya,
saya lupa kalau didepan rumah Bu Anna guru SD tersebut banyak sekali batu yang
gede-gede, dan roda bantu sepeda saya bengkok keatas, dan sudah ngga menyentuh
tanah lagi, Topan Cuma ngeliatin, lalu Topan menyuruh saya buat membuka saja
kedua roda bantu itu, sudah saatnya saya ngga perlu lagi menggunakan jasa kedua
ban itu, begitu katanya.
Saya mengikuti
perkataan Topan, kami berdua jalan kaki keluar dari kompleks SD, nyari sendiri
kunci-kunci dengan meminjam ke tetangga, dan mencoba mempretelinya sendiri.
Akhirnya kami berdua berhasil membukanya, dan memasang kembali sepeda tersebut,
hal yang luar biasa untuk dilakukan dua orang anak kecil.
Saya mengantarkan roda
bantu yang malang itu kerumah, Ibu hanya heran. Kenapa roda bantunya saya buka,
apa saya sudah bisa tanpa roda bantu. Saya dan Topan kembali ke SD, dengan
menggiring sepeda itu, karena jika langsung mengendarainya kaki saya masih
belum sampai ketanah jika saya duduk di atas jok nya.
Topan mengajari saya
beberapa trik agar bisa mengendarai sepeda tanpa roda bantu, saya bawa sepeda
itu kedepan teras rumah Bu Nini yang beberapa tahun kemudian menjadi guru
Fisika saya, dan Topan menjelaskan tentang keseimbangan, karena Teras itu agak
tinggi saya bisa langsung duduk diatas sepeda dan bersiap mengayuh. Beberapa
saat kemudian Topan memberi aba-aba dan....
Saya tidak percaya, Topan
orang pertama yang melihat saya mengendarai sepeda tanpa menggunakan roda
bantu, saya bisa menyeimbangkan diri, angin begitu lembut mengusap pipi dan
rambut saya, begitu bersemangat saya mengayuh sepeda tersebut sampai kencang,
beberapa saat kemudian saya sampai lagi didepan rumah Bu Anna yang banyak batu
gede tadi, saya kehilangan keseimbangan dan Braaakk!!!! Sikut dan lutut saya
terluka oleh batu-batu didepan rumah Bu Anna, Topan yang sedari tadi berdiri
mematung didepan rumah Bu Nini langsung lari ketempat saya terjatuh, sakit
banget rasanya saya mau nangis. Darah mulai mengalir dan sesampainya Topan
disana entah kenapa kami berdua saling tertawa, Topan mengangkat sepeda saya
dan menggiringnya kepelataran SD, saya pun dengan menahan sakit mengikutinya
kebelakang.
Entah apa yang tadi
membuat kami tertawa, di pelataran SD sekarang Topan hanya sedang
memperlihatkan bekas luka yang dia dapat, selama berlatih sepeda. Saya sama
sekali tidak mendapat pelajaran apa-apa hari itu, yang saya tau saya sudah bisa
mengendarai sepeda. Dan Topan terselip dalam cerita itu, hal yang ngga bakalan
pernah bisa saya lupakan.
Berminggu-minggu
kemudian, sudah tak terhitung lagi bekas luka yang saya dapatkan, tapi setiap
hari hanya semakin memantapkan saya mengendarai sepeda, puluhan kilo sudah saya
lewati bersama sepeda tersebut. Entah beberapa bulan atau beberapa tahun
kemudian. Suatu hari ketika saya lewat didekat rumah Topan, sudah tidak ada
lagi dia disana, rumah itu begitu sepi tidak ada tanda-tanda ada orang
didalamnya.
Saya pulang kerumah,
dan mencari Ibu kedapur. “Bu, Pak Will dan keluarganya kemana?” saya bertanya
pada Ibu, rumah saya dan Topan hanya berjarak beberapa meter saja, dapur saya
dan dapurnya berdekatan. Tapi saya tidak tau kalau Topan akan pergi. “Pak Will
pindah tugas pi kekampungnya, sekarang mereka sekeluarga sudah pindah, dan
mungkin ngga balik lagi” lalu selanjutnya saya diam, ada yang aneh dengan
perasaan saya waktu itu, Kosong.
Cerita ini saya
apresiasi untuk Topan, saya yakin semua orang punya cerita seperti ini dalam
kehidupannya. Hari pertama punya sepeda, teman bersepeda, dan teman masa kecil
yang pergi tanpa pamit langsung hilang. Namun sampai sekarang masih ada di
hati. Dimanapun Topan saya merindukannya, ketawanya, cara bicaranya yang dulu,
masih saya ingat dengan sangat jelas. Sahabat yang mengajarkan saya tentang
sepeda.
Dimanapun dia hari ini,
walau teknologi sudah canggih sekalipun saya masih belum bisa menemukan
keberadaannya dimana sekarang. Tapi jika Topan baca cerita ini, semoga dia bisa
tau. Dahulu di kampung bernama katimaha, dia pernah tinggal disana dan punya
seorang sahabat bernama NAPI jika dia tidak tau tentang HANAFI.
Dan tentang cerita ini,
semua orang pasti punya itu
Cerita tentang “Ayah,
sepeda, dan sahabat masa kecil yang pergi entah kemana”
Kawan, saya masih bisa
mengingat ruang dan waktu yang berkonspirasi menciptakan sebuah cerita tentang
kita, lalu memisahkan kita. Dan mudah-mudahan ada hari dimana rindu yang
menumpuk ini pecah oleh haru.