Selamat bulan puasa semuanya,
selamat menunaikan ibadah puasa semuanya. Lama ngga nulis kayaknya bakalan
membuat cerita ini sedikit kaku, udah masuk bulan ketiga ngga posting satupun
tulisan. Semua yang pengen ditulis berakhir di-folder “documents” dengan judul
yang ngga jelas dan isinya hanya beberapa paragraf saja. Menyebalkan!
Cerita ini berawal diawal-awal
puasa kemaren, si Opi adik sepupu ayah saya yang seumuran dengan saya. Dia
minta tolong diantar kedaerah Surian, perbatasan antara Kabupaten Solok dan Kabupaten
Solok Selatan, sekitar 2 jam dari kota Padang. Dia kesana dalam rangka
mengunjungi salah satu rumah pasiennya dirumah sakit jiwa, saya tekankan sekali
lagi. Rumah Sakit Jiwa!.
Setahun terakhir memang inilah
kegiatan Opi, meski dia sudah wisuda dan mendapat gelar Sarjana Keperawatan,
saya juga ngga ngerti mekanismenya seperti apa, yang jelas harus magang atau
apalah namanya dirumah sakit dulu selama satu tahun. Termasuk merawat pasien
jiwa dirumah sakit jiwa.
Awalnya sama sekali saya ngga
mau pergi nganter dia kesana, diawal saya pikir dia kesana mengunjungi pasien
sakit jiwa yang tengah dia tangani, karena saya sedang lumayan stress dengan
tumpukan pekerjaan dan berhubung hari sabtu serta ada alasan untuk cabut dari
proyek, lumayan refreshing melihat pemandangan indah Alahan Panjang. Saya pun
mengiyakan permintaannya.
Selesai sahur dengan
rekan-rekan kerja yang lain, saya kembali masuk kekamar. Mencoba tidur lagi
beberapa menit, samar adzan subuh dikumandangkan, saya ketiduran sampai jam 6
pagi, saya melangkah kekamar mandi, setelahnya saya shalat subuh dan bersiap,
sedari tadi Opi sudah ribuan kali menelpon, namun handphone saya silent kan,
sehingga tak satupun yang sempat saya angkat.
Saya kenakan jaket seadanya,
tepat jam setengah tujuh saya meluncur kekosan Opi yang lumayan jauh dari
tempat saya tinggal, suhu kota padang sepagi ini tidak begitu dingin, sehingga
jaket saya yang seadanya dapat meminimalisir rasa dingin cuaca pagi. Padang
memang terkenal dengan suhunya yang panas, terlebih siang hari.
Tak lama saya sampai, Opi pun
sebenarnya sudah siap dari subuh. Jadi saya ngga terlalu lama menunggu, kami
langsung meluncur dengan motor kesayangan yang pajaknya sudah mati 1 bulan.
STNK saya tinggal dirumah, karena kemarin sewaktu pulang hari pertama puasa
ayah suruh Stnk nya ditinggal dan biar Ayah yang ngurusin bayar pajaknya,
begitu kata Ayah.
Sesampainya didaerah indarung,
jalanan mulai mendaki pertanda sudah dekat pinggiran kota padang, atau sudah
sangat dekat dengan perbatasan antara Kota Padang dan Kabupaten Solok. Seperti
itulah geografis Sumatera Barat, Provinsinya yang memanjang sejalur dengan
bukit barisan yang memanjang dari ujung ke ujung Sumatera. Dan kota Padang
adalah Kota landai yang ketinggian dari permukaan lautnya mulai dari 0 MDPL
sampai dengan >1000 MDPL, jadi yaa sebenernya dari awal perjalanan kearah
solok sudah nanjak.
Cuma ketika telah sampai di
Indarung tanjakan semakin tinggi dan suhu hutan lindung disepanjang Bukit
Barisan lumayan dingin, sehingga suhu Kota Padang yang tadi panas, langsung
down menjadi sangat dingin oleh angin gunung. Saya sudah pernah beberapa kali
lewat di Alahan Panjang, dulu bersama sahabat lama saya pernah berhenti sekedar
makan Mie Rebus dipinggir Danau Kembar yang menjadi kebanggan daerah situ. Dari
kuah Mie yang mendidih ngga sampe lima menit itu, Mie habis kami lahap. Panasnya
Mie udah ngga berasa dibanding suhu yang ada disana, dan kejadian makan Mie
itu, kira-kira jam 11 Siang dikala Panas, bukan mendung bukan pula Hujan.
Kebayang ‘kan dinginnya?
Opi ternyata juga memakai jaket
seadanya, sepertinya dia juga menggigil dibelakang. Tapi setidaknya dia bisa melindungi
tubuhnya yang mungil dibalik tubuh saya yang bongsor. Biasanya didaerah Solok
dan Alahan Panjang langganan sekali dengan yang namanya hujan, namun
alhamdulillah hari itu matahari terlihat begitu terik, tak ada terlihat awan
yang ingin melindungi kami dari hangatnya cahaya matahari pagi itu, langit terlihat
begitu biru dan bersih. Yaa bahasa singkatnya CERAH.
Tak lama kami melewati hutan
lindung bukit barisan, sampai disimpang Selasih kami belok kanan kejalan yang
bisa saja tembus kedaerah kerinci, jika lurus bisa lanjut kekota Solok dan
melanjutkan perjalanan bisa saja ke jambi atau bukittinggi tinggal memilih
simpang mau kiri atau kanan. Tak jauh dari simpang itu kami sudah disuguhi
pemandangan kebun teh yang begitu hijau memantulkan cahaya matahari yang baru
saja keluar dari balik gunung talang. Suasana nya yang menyejukkan hati. Cuacanya
juga sangat sejuk.
Tidak sampai satu jam dari
kebun teh, dari kejauhan kami sudah bisa melihat danau Atas, tidak ada kabut
sedikitpun pagi itu, sehingga mata dengan leluasa memandang luasnya hamparan
danau dikelilingi oleh bukit-bukit yang terlihat senantiasa menaungi danau.
Pemandangan yang indah, Sumatera Barat sepertinya juga salah satu destinasi
wisata alam yang patut diperhitungkan dalam skala nasional.
![]() |
kebun teh gitu deh, (Sebenernya itu lagi ngupil) |
Jalan raya yang kami lewati
melewati pinggiran danau, sampai akhirnya tibalah jalan dimana kami
membelakangi danau, perlahan pemandangan danau mulai menghilang kami
melanjutkan perjalanan. Jalanan mulai mengecil dan sedikit jelek menurun dan
mendaki serta banyak tikungan. Saya berkendara dengan pelan karena ngga begitu
hafal jalanan didaerah sini.
Dan akhirnya sampailah kami
didaerah Surian, memasuki kecamatan Pantai Cermin, meski sama sekali ngga ada
pantai diatas gunung begini. Namun jika ditarik lurus kearah barat kecamatan
ini memang segaris dengan kecematan Tarusan didaerah pesisir selatan, jalannya
deket kalau mau menebas hutan lindung yang lebat diatas bukit barisan.
Kami berhenti disebuah
Puskesmas yang telah dijanjikan oleh Opi dengan salah satu petugas Puskesmas
yang ada disana. Kami bersalaman didepan TPR terminal yang tepat sekali didepan
puskesmas tersebut. Abang Puskesmas itupun mengantar kami kerumah pasien jiwa
yang tengah ditangani oleh Opi, tidak jauh dari puskesmas tersebut kami sampai
disebuah rumah kayu yang sudah tua, mungkin jauh lebih tua dibanding ibu-ibu
yang sedang membersihkan halamannya, melihat kami datang beliau langsung masuk
kerumahnya yang sangat sederhana.
Saya menjadi sedih dengan
keadaan Ibu itu, saya jadi ingat nenek saya yang akhir taun lalu meninggal
dunia, kami membuka sepatu dan masuk kedalam rumah, tidak ada ruang tamu, tidak
ada kursi tamu, bahkan tidak ada kamar dalam rumah itu. Rumah yang lumayan luas
terbuat dari struktur kayu, beberapa lembar papan yang menjadi dindingnya sudah
rapuh bahkan ada yang bolong.
Saya melihat kearah ibu itu,
dia membentangkan sebuah tikar untuk kami duduk bersama, saya tidak melihat
adanya tanda-tanda orang yang sedang sakit jiwa didalam rumah itu, saya melihat
arah kebelakang, disana ada sebuah rak piring kecil lengkap dengan piring yang
sudah bersih, barangkali sebelum membersihkan halaman ibu tersebut sudah
terlebih dahulu mencuci piring sampai sebersih itu.
Dan ketika telah duduk bersama,
mulailah Opi menyampaikan ada perihal apa dia datang kesana, selain menuntaskan
tugasnya sebagai ex-mahasiswa yang mau sertifikasi juga membantu pasien jiwa
yang sedang dia tangani. Dari pembicaraan mereka barulah saya tangkap beberapa
maksud. Ternyata pasien tersebut sedang berada dirumah sakit jiwa yang ada
dikota Padang. Maksud Opi datang kekeluarganya adalah menyampaikan bahwasanya
pasien tersebut sudah tidak lagi dirawat dikejiwaan, dalam artian beliau yang
tengah sakit jiwa tersebut sudah sembuh.
Kedatangan Opi menanyakan
kekeluarga sudah saatnya pasien tersebut dijemput kerumah sakit jiwa yang ada
di Kota Padang tersebut, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika
pasien memang diputuskan untuk pulang oleh keluarga. Opi meminta harus ada
petugas Puskesmas yang harus turut mengawasi pasien tersebut agar tidak lagi
tertekan dan kambuh dan selalu mengawasi pasien untuk selalu minum obat tepat
waktu.
Namun petugas Puskesmas sedikit
keberatan, dikarenakan Puskesmas sendiri sudah sangat kewalahan melakukan
pekerjaan mereka dikarenakan kekurangan personil. Tidak banyak yang mau menetap
lama di Puskesmas desa yang jauh dari keramaian seperti ini, bagi saya didesa
itu sangat damai. Tapi tidak bagi mereka yang diceritakan oleh abang-abang
puskesmas tadi. Ada beberapa oknum yang telah resmi menjadi PNS dan ditunjuk
sebagai petugas kesehatan didesa sana. Namun karena oknum-oknum tersebut punya
taring yang kuat dipemerintahan, terkadang hanya sebulan mereka bertahan lalu
“dipindah tugaskan” ketempat yang lebih hiruk pikuk dengan catatan gaji masih
melalui Puskesmas desa tersebut. Mereka yang diatas sana seringkali
menyalahgunakan jabatan dan kewenangan.
Dan tinggalah abang-abang
puskesmas tadi yang notabene juga orang sana dan beberapa rekannya menjadi
petugas kesehatan disebuah desa yang rata-rata penduduknya adalah petani yang
menyebar keseluruh desa yang lumayan luas, dia cerita bahkan terkadang untuk
sosialisasi dan memberikan vaksin terkadang harus pulang malam.
Saya melihat pancaran keihlasan
dan kebesaran hati dari petugas kesehatan di Puskesmas tersebut, sepertinya
mereka menikmati pekerjaan mereka, dikenal banyak orang karena kerap kali
setiap kesakitan hampir selalu ada obatnya di Puskesmas tersebut. BEROBAT ITU
WAJIB HUKUMNYA, YANG MENYEMBUHKAN ITU ALLAH, semboyan yang selalu teringat oleh
saya sedari kecil ketika sakit. itu yang selalu Ibu sebut ke saya agar tidak
pernah takut untuk berobat.
Abang puskesmas yang tadi duduk
bersama kami bercerita tentang kejadian yang bersangkutan dengan pasien jiwa
Opi, apa saja yang sering pasien jiwa itu lakukan, dan perihal apa mereka harus
membawa pasien jiwa itu kerumah sakit jiwa. Dari semua cerita yang saya dengar.
Yang bersangkutan terkena sakit jiwa dikarenakan ditinggal menikah oleh orang
yang dicintainya, sehingga bathinnya tertekan sehingga dia kehilangan kendali
bahkan kehilangan kewarasannya. Saat ditangani Opi sekarang beliau sudah untuk
kesembilan kalinya masuk kerumah sakit jiwa. abang puskesmas itu bercerita,
beliau dibawa kerumah sakit jiwa dikarena kerap membuat keresahan masyarakat.
Namun pada dasarnya beliau sangat baik, seringkali menyapu dan membersihkan
terminal, bahkan membersihkan motor penjaga TPR selagi dia masih tidur malam,
dan terkejut ketika pagi motornya sudah dalam keadaan bersih dan mengkilat,
semua pasien jiwa tersebut yang melakukannya.
Untuk masuk kesembilan kalinya
beliau masuk kerumah sakit jiwa dikarenakan, beliau mematahkan keran air dimasjid
dan menghancurkan tumpukan keramik yang sejatinya akan dipasang pada lantai
masjid tersebut. Sehingga semua petugas kesehatan di Puskesmas merasa beliau
sudah meresahkan masyarakat dan sudah saatnya direhabilitasi lagi ke Rumah Sakit
Jiwa di Padang. Pasien jiwa tersebut sebenarnya tau beliau bakalan dibawa lagi
ke Rumah Sakit Jiwa, dan menolak dan mengancam akan menghancurkan kaca
ambulance jika dia tetap dibawa ke Padang, beliau minta ambulance berhenti dan
setelah berhenti beliau lari kembali ke daerah terminal, akhirnya abang
puskesmas yang tadi meminta bantuan kepolisian dan pihak polisi mengirim
seorang polisi yang baru saja lulus tahun 2013, dan dengan jiwa muda yang dia
punya polisi muda tersebut berhasil membujuk pasien jiwa untuk ikut kepadang
tanpa ada lagi perlawanan.
Ternyata polisi tersebut jauh
hari sebelum hari itu, sudah punya kisah unik dengan pasien jiwa tersebut.
Sehingga pasien jiwa tersebut begitu patuh pada polisi muda tersebut, bisa
dikatakan polisi tersebut seumuran dengan saya. Mendengar abang puskesmas itu
bercerita membuat saya berfikir kehidupan dikampung ini seperti cerita-cerita
FTV yang kadang membuat kita senyum tipis. Saya tekankan, terkadang hanya
dimulut kita merasa benci dengan sebuah FTV namun ketika kita memperhatikan FTV
tersebut 5 – 10 menit, kemungkinannya 80% kita akan ikuti cerita FTV tersebut
sampai selesai, walaupun diakhir nanti kita akan berucap, “TUH KAN AKHIRNYA
PASTI BEGINI”
Buat saya cerita abang tadi
menjadikan desa ini mungkin bakalan menjadi desa spesial buat saya, dimana
rasanya semua instansi berjalan sesuai denga jalurnya. Tanpa ada intrik dan
penyalahgunaan kewenangan. Desa ini punya cerita manisnya sendiri, setiap satu
orang dari warganya merupakan lakon utama dalam setiap cerita yang bisa mereka
buat sendiri.
Hanyut dalam cerita abang
puskesmas tadi, saya disadarkan oleh salah satu keluarga Ibu pasien jiwa tadi.
Dari sana lah mungkin saya dapat ilmu umum yang mungkin begitu berharga buat
saya kedepan. Beliau bercerita sambil menangis ketika Opi memberi opsi dibawa
pulang dengan syarat selalu sanjung semua pekerjaan positifnya dan jangan
pernah tekan bathinnya, atau pasien jiwa tersebut lebih dipulihkan lagi di
Rumah Sakit Jiwa yang jauh lebih besar dan punya obat-obatan yang lebih lengkap
di Palembang.
Beliau takut jika nanti dibawa
ke palembang nanti anaknya bakalan disuntik mati dan udah ngga ada kabar lagi,
namun beliau juga dilema jika pasien jiwa tersebut dibawa pulang dan kambuh
lagi akibat tekanan orang-orang dari lingkungan luar yang bukan kelurganya,
barangkali ejekan atau olok-olok dari orang sekampung. Dan JLEB!! Tiba-tiba
saya berfikir, yang namanya orang gila kalo dia ngga diganggu dia ngga bakalan
pernah mengganggu, menurut saya pribadi orang yang sakit kejiwaannya akibat
tekanan batin yang luar biasa sehingga tidak ada koneksi lagi antara perasaan
dan logikanya, yang penting baginya perasaannya tenang, sebagai salah satu
contoh. Ketika kita mengganggu orang gila dan dia marah, dengan upaya apapun
dia akan membalas bahkan dengan batu, kayu atau benda tajam sekalipun tanpa
pernah memperhitungkan dengan logikanya apa yang akan terjadi nanti jika
melakukan hal tersebut, baginya yang terpenting adalah batin dan perasaannya
merasa tenang telah membalas perbuatan tersebut tak peduli dalam bentuk apapun
itu.
Setelah cukup lama kami
berpamitan pulang, dalam perjalanan pulang saya memberikan sebuah opini pada
Opi dan ternyata cukup nyambung. “itu artinya, orang gila itu ngga boleh diejek
ya Pi, apalagi diolok-olok. Harusnya kita sebagai masyarakat, dalam lingkungan
orang gila yang misalkan baru keluar dari rumah sakit jiwa, kudu ikut bantu
orang gila tersebut biar cepat sembuh, seperti yang dilakukan oleh perawat-perawat
yang ditugaskan dirumah sakit Jiwa. Bukan malah sebaliknya memperolok orang
gila sehingga batinnya kembali tertekan dan penyakit kejiwaannya kambuh” aku
beropini panjang lebar ke Opi “harusnya hal seperti ini harus disosialisasikan
ke Masyarakat, masyarakat diberi penyuluhan bahwasanya orang gila juga punya
hak untuk sembuh, dan salah satunya ya dukungan dari lingkungannya, bukan
begitu Pi?” lanjut pertanyaanku pada Opi.
“iya, harusnya begitu. Selama
ini yang ada hanya penyuluhan tentang hal-hal yang umum saja ke masyarakat, dan
kebanyakan dari masyarakat sudah tau, misalnya tentang bahaya narkoba, HIV dan
AIDS, lalu tentang penyakit menular serta kesehatan ibu dan anak, penyuluhan
tentang kelanjutan penyembuhan orang yang sakit jiwa tidak pernah ada” kata Opi
mempertegas!
Yaaa, memang tidak seharusnya
kita takut dengan orang sakit jiwa yang sudah keluar dari rumah sakit jiwa.
Semua penyakit kejiwaan punya penyebabnya masing-masing dan mungkin ada
diantara mereka yang frontal menyerang masyarakat, namun dapat dipertegas lagi
seperti hukum sebab akibat, orang gila ngga bakalan pernah menyerang kalo dia
ngga diganggu.
Sesampainya dikantor saya
membuka diskusi dengan bang Iqbal, tempat saya banyak bertukar fikiran
akhir-akhir ini. Saya menyampaikan Opini saya tadi ke bang Iqbal dan dia setuju
dengan itu. Bang Iqbal juga punya pengalaman menarik dengan orang gila. Dulu
ketika dia masih kuliah teknik sipil di USU Medan, dalam tugas lalu lintas dia
sedang berada disebuah halte sedang menghitung banyak kendaraan yang lewat
disebuah ruas jalan. Dihalte tersebut banyak sekali orang-orang sedang
berkumpul menunggu angkutan umum, tak lama ada orang gila yang tiba-tiba datang
ke Halte tersebut, semua orang menyingkir dari Halte kecuali bang Iqbal yang
memilih untuk tetap duduk tenang dengan perasaan was-was, tak lama ada sebuah
angkot berhenti tepat didepan bang Iqbal, namun bang Iqbal tidak naik. Dan
ternyata orang gila tersebut mendekat ke angkot dan meminta uang. Supir angkot
tersebut memberi uang 1000 rupiah dan salah satu penumpang juga memberi 1000
rupiah. Angkot itupun berlalu, dalam waktu yang tidak lama orang gila tersebut
berjalan kearah bang Iqbal duduk di Halte tersebut. Bang Iqbal semakin takut
dan was-was namun masih mencoba untuk diam. Sesampainya orang gila tersebut
didepan bang Iqbal, orang gila tersebut memberikan uang yang ia dapat 1000
rupiah ke pada bang Iqbal, lalu pergi begitu saja.
Intinya tak pernah ada niat
buruk yang ada pada orang gila tersebut, dia hanya kehilangan akal sehatnya.
Saya sekeluarga dulu diwaktu kecil juga punya pengalaman menarik dengan orang
gila, waktu itu malam hari hujan dari senja tak berhenti walau sejenak, sekitar
jam 9 malam datanglah orang gila yang sudah terkenal dikampung saya, jika
dikampung saya namanya disebut semua orang pasti tau. Dia membawa buku
pelajaran kelas 6 SD entah dari mana dan jumlahnya cukup banyak. Dia menumpang
berteduh diteras rumah saya, dia kelihatan kedinginan baju dan sarung lusuhnya
basah oleh hujan, kepalanya ditutupi kantong kresek. Lantas? Apa yang dilakukan
oleh Ayah dan Ibu waktu itu? Sama sekali tidak ada niat untuk mengusir, meski
dalam keadaan gila dia juga manusia, Ibu kasihan melihat dia yang menggigil
kedinginan berteduh diteras rumah menatap panjang kearah hujan lebat yang tidak
kunjung reda, orang gila tersebut tidak peduli dengan kami.
Aku lupa malam itu kami
sekeluarga sedang apa didalam rumah, yang jelas ibu memberinya makan lengkap
dengan semua yang juga kami makan, namun hanya satu hal yang ibu lupa. Ibu lupa
memberi air minum sehingga dia meminum air tirisan atap dengan begitu lahapnya.
Aku lupa ceritanya entahkah ibu juga memberikan sebuah kain sarung atau tidak.
Yang jelas orang gila tersebut meninggalkan buku pelajaran tersebut diberanda
rumah, buku yang suatu saat nanti sering kami baca dan lihat-lihat gambarnya.
Entahkah dia lupa atau memang
niat meninggalkan buku itu dirumah kami, yang jelas seperti hukum sebab akibat,
orang gila ngga bakalan pernah ganggu kalo dia ngga diganggu. Dari mulai
kejadian itu saya sama sekali ngga pernah takut lagi dengan orang gila satu
itu, bahkan saya jengkel jika ada teman-teman saya yang memperolok nya ditengah
pasar, seringkali juga saya kedapatan melihat dia memakan sisa-sisa jualan
orang dipasar, tidak lupa dengan style biasanya, sarung lusuh dan topi kantong
kreseknya. Hari ini kami sudah ngga tau lagi dimana dia, kabar yang saya dengar
dia meninggal dunia. tapi dia dan pasar simpang empat, sebuah pusat kota
dikampung saya, bakalan menjadi sebuah cerita yang ngga bakalan terpisahkan!
Dia adalah salah satu bagian dari pasar simpang empat!
Cerita membelah bukit barisan
ini menyerempet kemana-mana, intinya pelajaran yang saya dapat dari perjalanan
itu adalah, orang gila juga punya hak untuk sembuh, dan kita sebagai orang yang
waras harus mendukungnya untuk sembuh dengan cara tak usah mengganggu dan
memperolok orang gila. Gila itu akibat kejiwaan, kalau ngga mau sakit jiwa,
yaaa kenalilah diri sendiri dan tuhan kita. Dari mana kita berasal dan apa
tujuan sebenarnya dari semua ini. Salah satu hal yang membuat kita gila adalah,
tidak adanya iman didalam diri. Tidak ada keyakinan bahwa Allah itu maha besar
dan dapat menyelesaikan semua masalah.
Dipenghujung cerita saya hanya
berfoto-foto ria saja denga Opi, lalu melanjutkan perjalanan pulang. Ketika
akan memasuki kota padang kami kena razia dan ditangkap, saya tidak punya SIM
dan STNK, motor mau dibawa dan saya ngga tau mau pulang pake apa. Kami dipaksa
nyogok, saya ngga tau ini bakalan batalin puasa atau enggak. Tapi ini terpaksa
kami lakukan kalo engga kami mau pulang pake apa ditengah hutan beginii.
nih bonus Foto..
![]() |
haseeeeekkkkk |
![]() |
ini nih yang namanya opi |
Ealahh Hanafi Kini,,,cukurlah bulu ketek tu haa
ReplyDeleteSiaaa kooo????
DeleteSiaaa kooo????
Delete